Karl
Marx dikenal sebagai seorang filsuf, pemikir, yang mendambakan sebuah
masyarakat sosialis. Sebuah tatanan masyarakat yang tanpa kelas. Pemikirannya,
Marxisme, merupakan landasan dari pergerakan revolusi buruh hingga saat ini,
dan pondasi dari komunisme. Komunisme sendiri, menurut Franz Magnis, merupakan
salah satu kekuatan politik dan ideologis paling dahsyat di dunia di sebagian
besar abad dua puluh.[1]
Selain itu, saat ini, marxisme juga merangsang perkembangan bidang ilmu lain:
filsafat kritis, politik, sosial, ekonomi, dan budaya.[2]
Maka, mempelajari dan mencari intisari dari pemikiran Marx, yang sedemikian
berdampak luar biasa bagi dunia abad dua puluh, merupakan sebuah keharusan,
setidaknya bagi penulis.
Pemikiran
Marx memiliki cakupan yang sangat luas. Di tulisan kali ini, hanya pemikiran
Marx atau konsepsi Marx mengenai keterasingan yang akan dikemukakan. Karena
menurut penulis, inilah yang kemudian menjadi dasar atau intisari dari
pemikiran marx itu sendiri. Akan tetapi, sebelum pada pembahasan mengenai
konsepsi keterasingannya, terlebih dahulu penulis akan menggiring pembaca pada
sejarah perkembangan pemikiran Marx. Latar belakang Marx dan pemikiran-pemikiran
tokoh lain yang menginspirasinya.
Latar
Belakang Karl Marx dan Perkembangan Pemikirannya
Karl
Marx lahir di Kota Trier, Prussia, Jerman, pada 5 Mei 1818 dari orang tua yang
beragama Yahudi. Ayahnya adalah seorang pengacara yahudi, yang kemudian
berganti agama menjadi Kristen Protestan atas alasan karir, menjadi seorang
notaris. Sedangkan, ibunya adalah seorang ibu rumah tangga. Kota Trier, atau
Prussia, pada waktu itu sedang mengalami sebuah kekacauan akibat tercerabutnya kebebasan. Saat itu, undang-undang
dasar yang memihak pada kebebasan rakyat dicabut, pers dikekang, dan para
akademisi harus siap jika sewaktu-waktu ditahan karena mengemukakan pendapat
tentang kebebasan. Prussia berada dalam situasi politik reaksioner.[3]
Masa
kecil Marx tak banyak diceritakan. Masa remajanya lah yang mungkin menjadi
titik tolak riwayat hidup Marx. Marx remaja, ketika baru lulus dari Gymnasium di Trier, dipaksa ayahnya
untuk masuk sekolah hukum, untuk menjadi notaris. Awalnya Marx mengikuti
keinginan ayahnya, akan tetapi, setelah satu semester di Bonn, untuk mengambil
kuliah hukum, ia memutuskan untuk pindah ke Berlin dan belajar filsafat. Di
sinilah kemudian Marx mengenal pemikiran filsafat politik Hegel. Hegel
beranggapan bahwa rasionalitas dan kebebasan merupakan sebuah nilai tertinggi.[4]
Hal tersebut tentu dianggap cocok oleh Marx, sebagai kritik terhadap kondisi
Prussia yang saat itu mencerabut kebebasan.
Karier
akademis Marx terus menanjak, hingga akhirnya, di tahun 1841, Universitas Jena
mempromosikan Marx menjadi doktor filsafat atas disertasi tentang filsafat
demokritos dan epikuros. Pemikirannya kali ini, di satu sisi mengagungkan
pemikiran Hegel, tetapi, di sisi lain juga mengkritik pemikiran tersebut. Bagi
Marx, Hegel hanya berbicara pada tataran teori, hanya merumuskan pikiran. Bagi
Marx, filsafat harus dirumuskan secara nyata, praktis-revolusioner.[5] Marx
pun berhasil lulus promosi. Dalam perjalanannya mencari apa sebenarnya kritik
atas pemikiran Hegel, Marx menemukan pemikiran Ludwig Feuerbach, dalam
karyanya, The Essence of Christianity.
Di sini lah Marx menemukan pemikiran Feuerbach mengenai keterasingan.
Dalam
konteks Feuerbach, keterasingan tersebut terungkap dalam agama. Bagi,
Feuerbach, manusia adalah satu-satunya titik tolak filsafat yang sah, maka,
bukannya manusia yang diciptakan Tuhan, melainkan Tuhan yang diciptakan
manusia. Agama dan Tuhan hanyalah angan-angan manusia tentang hakikatnya
sendiri: kondisi ideal dan kesempurnaan. Maka, untuk menumbuhkembakan
potensi-potensi manusia dan untuk kembali ke hakikatnya, manusia haruslah
meniadakan agama.[6]
Mengenai pendapat Feuerbach, Marx tidak sepenuhnya sependapat. Bagi Marx, agama
hanyalah tanda keterasingan. Agama adalah pelarian, bukan inti penyebab
keterasingan itu sendiri. Sedangkan, baginya, yang menjadi inti adalah realitas
sosial. Kritik agama harus menjadi kritik masyarakat.[7]
Berdasarkan
pemikiran Hegel, yang mengemukakan bahwa ciri khas masyarakat modern adalah
adanya perpisahan antara civil society dan Negara, Marx berpendapat
bahwa selain agama, tanda keterasingan lain adalah Negara. Menurut Hegel, civil society menuntut pemenuhan kebutuhan secara praktis, sehingga
menumbuhkan egoisme. Sedang ego masing-masing individu, yang mengarahkan mereka
pada pemenuhan kebutuhan secara sendiri-sendiri, harus diatur oleh sebuah
institusi bernama Negara. Karena inilah kemudian Marx berpendapat bahwa negara
juga tanda keterasingan manusia dari hakikat sosialnya, karena jika saja
manusia tersebut tidak terasing, agar manusia mau bersifat sosial, tidaklah
diperlukan Negara. Pada akhirnya Marx berkesimpulan, bahwa masalah inti dari
keterasingan adalah keterasingan manusia dari sifatnya yang sosial. Emansipasi
sebagai manusia.[8]
Keterasingan
berikutnya adalah keterasingan dalam pekerjaan. Bagi Marx, pekerjaan adalah
upaya manusia untuk mengaktualisasikan diri. Dengannya manusia akan merasa
bahagia dan bangga apabila mampu menyelesaikan pekerjaan tersebut. Selain itu,
Marx juga berpendapat bahwa pekerjaan harusnya membangun hubungan sosial
antar-manusia, mengingat pola saling memenuhi satu sama lain. Produksi manusia
yang satu memenuhi kebutuhan manusia yang lain, juga kebutuhan manusia tersebut
dipenuhi oleh produksi manusia lain. Akan tetapi, sistem kapitalis yang ada,
hanya membawa masyarakat bekerja hanya untuk mendapatkan uang. Sesuatu yang
bernilai pada diri sendiri atau untuk kebutuhan bersama tidak lagi menjadi
landasan manusia tersebut bekerja. Hal ini sebagaimana tercermin di
pabrik-pabrik kaum kapitalis. Sehingga, dengan kata lain, manusia tersebut
menjauh dari hakikatnya sendiri sebagai manusia, sebagai makhluk sosial.
Kondisi ini tentu bukan tanpa alasan, sedang alasannya adalah keterpaksaan. Di
mana, mau tidak mau, kaum lemah (buruh) haruslah terus bekerja untuk memenuhi
hajatnya, baik sesuai atau tidak pekerjaan dengan keinginannya, atau besar
kecilnya upah yang diberikan. Kasarnya, Marx mengemukakan kondisi ini sebagai
penghisapan kaum lemah oleh kaum kuat, kelas bawah oleh kelas atas.
Keterasingan
dalam pekerjaan dan penghisapan yang terjadi inilah yang kemudian membawa Marx
pada pemikiran-pemikirannya yang lain: pemikirannya mengenai matrelialisme
sejarah, juga tentu mengenai perjuangan kelas. Bagi Marx, perjalanan sejarah
manusia terdiri dari tiga tahap: tahapan tidak ada pembagian kerja; tahapan
pembagian kerja, hak milik pribadi, dan keterasingan; dan tahapan kebebasan,
tidak adanya hak milik pribadi.[9]
Saat ini, tahapan yang sedang berlangsung adalah tahapan kedua. Dan untuk
mencapai tahapan selanjutnya, tahapan kebebasan, kelas-kelas sosial haruslah dihapuskan,
menjadi masyarakat tanpa kelas. Karena keterasingan dan penghisapan disebabkan
oleh pemaksaan yang dilakukan oleh kaum kapitalis, kelas atas, terhadap kaum
buruh, kelas bawah, maka, harus ada perlawanan atau, bisa disebut, pemaksaan
yang dilakukan sebaliknya, oleh kaum buruh, kelas bawah, terhadap kaum
kapitalis, kelas atas, yaitu, revolusi.[10]
Perjuangan Kelas
“Sejarah
semua masyarakat yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas”
(Marx dalam Franz, 2010, hlm. 111)
Dengan
menjadikan dasar teori keterasingan pekerjaan, maka akan ada dua kelas utama,
kelas atas dan kelas bawah. Borjuis dan proletar. Hubungan yang terjadi antara
keduanya adalah hubungan kekuasaan: kelas atas, yang kuat, berkuasa atas kelas
bawah, yang lemah. Di sisi lain, masing-masing kelas sosial di masyarakat,
menurut Marx, memiliki kepentingannya masing-masing dan akan bertindak sesuai
dengan kepentingan tersebut. Yang terjadi adalah, kepentingan kelas atas dan
kelas bawah saling bertentangan. Kelas atas menginginkan kelas bawah mendapat
upah sekecil-kecilnya agar laba besar, sedangkan, kelas bawah menuntut upah
sebesar-besarnya. Tentu, kelas atas tidak akan pernah rela, mereka akan
senantiasa mempertahankan sistem yang menguntungkan mereka. Karenanya,
perubahan sebuah sistem hanya akan terjadi bila melalui perlawanan, melalui
revolusi.
Jika
kita menarik hal di atas dalam sistem dunia, kita tentu akan tetap menemukan
adanya kelas atas dan kelas bawah. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Lenin
bahwa kapitalisme setidaknya membagi dunia menjadi dua bagian, yaitu
negara-negara inti (core) dan negara-negara periferi (lemah).[11]
Pendapat lain mengenai pembagian negara-negara di dunia dikemukakan pula oleh
Wallerstein, menurutnya negara-negara di dunia terbagi menjadi tiga:
negara-negara inti, semi-periferi, dan periferi.[12] Sedang,
menyoal hubungan di antara keduanya, baik Lenin maupun Wallerstein bersepakat,
bahwa terjadi eksploitasi yang dilakukan oleh negara-negara inti terhadap
negara periferi, khususnya dalam bidang ekonomi. Lebih jauh, Hobson
berpendapat, dalam the state and
international relation, semakin jauh perekonomian negara-negara periferi
dipengaruhi oleh sistem ekonomi negara-negara inti, intervensi negara-negara inti
terhadap negara-negara periferi akan semakin dalam, bahkan menjalar kepada
kebijakan politik.[13] Maka,
menurut Andre Guther Frank, untuk mengakhiri eksploitasi yang terjadi, dan
menggapai kemakmuran negara-negara periferi, adalah dengan memutuskan hubungan
dengan negara kapitalis.[14]
Kesimpulan
Pemikiran
Marx, pada awalnya, sedikit banyak ditentukan oleh keadaan Prussia, semasa ia
remaja. Melihat ketidaksejahteraan buruh-buruh industri pada masa awal revolusi
industri dan kapitalisme, dan terpengaruh oleh pemikiran Feuerbach mengenai
keterasingan, pada akhirnya membawa Marx pada konsepsinya mengenai keterasingan
dalam pekerjaan dan kritiknya terhadap kapitalisme itu sendiri. Konsepsi Marx
mengenai keterasingan oleh pekerjaan, membawa Marx pada pemikirannya mengenai
perjuangan kelas atau revolusi. Pemikiran mengenai penindasan kelas kuat
terhadap kelas lemah, dan cara mengatasi hal tersebut, yaitu, dengan
perlawanan, atau revolusi. Pemikiran Marx mengenai kelas dan revolusi inilah
yang kemudian mendasari pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh yang tersebut di atas
untuk mengkritik kapitalisme secara global. Negara-negara kapitalis yang
umumnya adalah negara-negara inti, yang kuat, selalu melakukan intervensi
terhadap negara-negara periferi, yang lemah. Dan untuk mengatasi ini semua
diperlukan perlawanan, dalam hal ini pemutusan hubungan sebagaimana apa yang
dikemukakan oleh Andre Guther Frank pada paragraph sebelumnya.
Daftar
Pustaka
Magnis,
Franz. 2010. Pemikiran Karl Marx. Jakarta:
Gramedia
Rachmawati,
Iva. 2012. Memahami Perkembangan Studi
Hubungan Internasional. Yogyakarta: Aswaja Pressindo
[1]
Franz Magnis, Pemikiran Karl Marx,
(Jakarta: Gramedia, 2010), hlm. 1
[2] Ibid., hlm. 3
[3] Ibid., hlm. 46
[4] Ibid., hlm. 47
[5] Ibid., hlm. 48
[6] Ibid., hlm. 71
[7] Ibid., hlm. 74
[8] Ibid., hlm. 79
[9] Ibid., hlm 102
[10]
Marx A. Lutz, “The Limitations of Karl Marx’s Social Economics”,
Hlm. 9, diakses dari
[11] Iva
Rachmawati, Memahami Perkembangan Studi
Hubungan Internasional, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012), hlm. 120
[12] Ibid., hlm. 124
[13] Ibid., hlm. 120
[14] Ibid., hlm. 132
Tidak ada komentar:
Posting Komentar