Senin, 25 Maret 2013

Karl Marx



fajrulislam.wordpress.com
 Karl Marx dan Konsepsi Keterasingan

Karl Marx dikenal sebagai seorang filsuf, pemikir, yang mendambakan sebuah masyarakat sosialis. Sebuah tatanan masyarakat yang tanpa kelas. Pemikirannya, Marxisme, merupakan landasan dari pergerakan revolusi buruh hingga saat ini, dan pondasi dari komunisme. Komunisme sendiri, menurut Franz Magnis, merupakan salah satu kekuatan politik dan ideologis paling dahsyat di dunia di sebagian besar abad dua puluh.[1] Selain itu, saat ini, marxisme juga merangsang perkembangan bidang ilmu lain: filsafat kritis, politik, sosial, ekonomi, dan budaya.[2] Maka, mempelajari dan mencari intisari dari pemikiran Marx, yang sedemikian berdampak luar biasa bagi dunia abad dua puluh, merupakan sebuah keharusan, setidaknya bagi penulis.
Pemikiran Marx memiliki cakupan yang sangat luas. Di tulisan kali ini, hanya pemikiran Marx atau konsepsi Marx mengenai keterasingan yang akan dikemukakan. Karena menurut penulis, inilah yang kemudian menjadi dasar atau intisari dari pemikiran marx itu sendiri. Akan tetapi, sebelum pada pembahasan mengenai konsepsi keterasingannya, terlebih dahulu penulis akan menggiring pembaca pada sejarah perkembangan pemikiran Marx. Latar belakang Marx dan pemikiran-pemikiran tokoh lain yang menginspirasinya.
Latar Belakang Karl Marx dan Perkembangan Pemikirannya
Karl Marx lahir di Kota Trier, Prussia, Jerman, pada 5 Mei 1818 dari orang tua yang beragama Yahudi. Ayahnya adalah seorang pengacara yahudi, yang kemudian berganti agama menjadi Kristen Protestan atas alasan karir, menjadi seorang notaris. Sedangkan, ibunya adalah seorang ibu rumah tangga. Kota Trier, atau Prussia, pada waktu itu sedang mengalami sebuah kekacauan akibat  tercerabutnya kebebasan. Saat itu, undang-undang dasar yang memihak pada kebebasan rakyat dicabut, pers dikekang, dan para akademisi harus siap jika sewaktu-waktu ditahan karena mengemukakan pendapat tentang kebebasan. Prussia berada dalam situasi politik reaksioner.[3]
Masa kecil Marx tak banyak diceritakan. Masa remajanya lah yang mungkin menjadi titik tolak riwayat hidup Marx. Marx remaja, ketika baru lulus dari Gymnasium di Trier, dipaksa ayahnya untuk masuk sekolah hukum, untuk menjadi notaris. Awalnya Marx mengikuti keinginan ayahnya, akan tetapi, setelah satu semester di Bonn, untuk mengambil kuliah hukum, ia memutuskan untuk pindah ke Berlin dan belajar filsafat. Di sinilah kemudian Marx mengenal pemikiran filsafat politik Hegel. Hegel beranggapan bahwa rasionalitas dan kebebasan merupakan sebuah nilai tertinggi.[4] Hal tersebut tentu dianggap cocok oleh Marx, sebagai kritik terhadap kondisi Prussia yang saat itu mencerabut kebebasan.
Karier akademis Marx terus menanjak, hingga akhirnya, di tahun 1841, Universitas Jena mempromosikan Marx menjadi doktor filsafat atas disertasi tentang filsafat demokritos dan epikuros. Pemikirannya kali ini, di satu sisi mengagungkan pemikiran Hegel, tetapi, di sisi lain juga mengkritik pemikiran tersebut. Bagi Marx, Hegel hanya berbicara pada tataran teori, hanya merumuskan pikiran. Bagi Marx, filsafat harus dirumuskan secara nyata, praktis-revolusioner.[5] Marx pun berhasil lulus promosi. Dalam perjalanannya mencari apa sebenarnya kritik atas pemikiran Hegel, Marx menemukan pemikiran Ludwig Feuerbach, dalam karyanya, The Essence of Christianity. Di sini lah Marx menemukan pemikiran Feuerbach mengenai keterasingan.
Dalam konteks Feuerbach, keterasingan tersebut terungkap dalam agama. Bagi, Feuerbach, manusia adalah satu-satunya titik tolak filsafat yang sah, maka, bukannya manusia yang diciptakan Tuhan, melainkan Tuhan yang diciptakan manusia. Agama dan Tuhan hanyalah angan-angan manusia tentang hakikatnya sendiri: kondisi ideal dan kesempurnaan. Maka, untuk menumbuhkembakan potensi-potensi manusia dan untuk kembali ke hakikatnya, manusia haruslah meniadakan agama.[6] Mengenai pendapat Feuerbach, Marx tidak sepenuhnya sependapat. Bagi Marx, agama hanyalah tanda keterasingan. Agama adalah pelarian, bukan inti penyebab keterasingan itu sendiri. Sedangkan, baginya, yang menjadi inti adalah realitas sosial. Kritik agama harus menjadi kritik masyarakat.[7]
Berdasarkan pemikiran Hegel, yang mengemukakan bahwa ciri khas masyarakat modern adalah adanya perpisahan antara civil society dan Negara, Marx berpendapat bahwa selain agama, tanda keterasingan lain adalah Negara. Menurut Hegel, civil society menuntut pemenuhan kebutuhan secara praktis, sehingga menumbuhkan egoisme. Sedang ego masing-masing individu, yang mengarahkan mereka pada pemenuhan kebutuhan secara sendiri-sendiri, harus diatur oleh sebuah institusi bernama Negara. Karena inilah kemudian Marx berpendapat bahwa negara juga tanda keterasingan manusia dari hakikat sosialnya, karena jika saja manusia tersebut tidak terasing, agar manusia mau bersifat sosial, tidaklah diperlukan Negara. Pada akhirnya Marx berkesimpulan, bahwa masalah inti dari keterasingan adalah keterasingan manusia dari sifatnya yang sosial. Emansipasi sebagai manusia.[8]
Keterasingan berikutnya adalah keterasingan dalam pekerjaan. Bagi Marx, pekerjaan adalah upaya manusia untuk mengaktualisasikan diri. Dengannya manusia akan merasa bahagia dan bangga apabila mampu menyelesaikan pekerjaan tersebut. Selain itu, Marx juga berpendapat bahwa pekerjaan harusnya membangun hubungan sosial antar-manusia, mengingat pola saling memenuhi satu sama lain. Produksi manusia yang satu memenuhi kebutuhan manusia yang lain, juga kebutuhan manusia tersebut dipenuhi oleh produksi manusia lain. Akan tetapi, sistem kapitalis yang ada, hanya membawa masyarakat bekerja hanya untuk mendapatkan uang. Sesuatu yang bernilai pada diri sendiri atau untuk kebutuhan bersama tidak lagi menjadi landasan manusia tersebut bekerja. Hal ini sebagaimana tercermin di pabrik-pabrik kaum kapitalis. Sehingga, dengan kata lain, manusia tersebut menjauh dari hakikatnya sendiri sebagai manusia, sebagai makhluk sosial. Kondisi ini tentu bukan tanpa alasan, sedang alasannya adalah keterpaksaan. Di mana, mau tidak mau, kaum lemah (buruh) haruslah terus bekerja untuk memenuhi hajatnya, baik sesuai atau tidak pekerjaan dengan keinginannya, atau besar kecilnya upah yang diberikan. Kasarnya, Marx mengemukakan kondisi ini sebagai penghisapan kaum lemah oleh kaum kuat, kelas bawah oleh kelas atas. 
Keterasingan dalam pekerjaan dan penghisapan yang terjadi inilah yang kemudian membawa Marx pada pemikiran-pemikirannya yang lain: pemikirannya mengenai matrelialisme sejarah, juga tentu mengenai perjuangan kelas. Bagi Marx, perjalanan sejarah manusia terdiri dari tiga tahap: tahapan tidak ada pembagian kerja; tahapan pembagian kerja, hak milik pribadi, dan keterasingan; dan tahapan kebebasan, tidak adanya hak milik pribadi.[9] Saat ini, tahapan yang sedang berlangsung adalah tahapan kedua. Dan untuk mencapai tahapan selanjutnya, tahapan kebebasan, kelas-kelas sosial haruslah dihapuskan, menjadi masyarakat tanpa kelas. Karena keterasingan dan penghisapan disebabkan oleh pemaksaan yang dilakukan oleh kaum kapitalis, kelas atas, terhadap kaum buruh, kelas bawah, maka, harus ada perlawanan atau, bisa disebut, pemaksaan yang dilakukan sebaliknya, oleh kaum buruh, kelas bawah, terhadap kaum kapitalis, kelas atas, yaitu, revolusi.[10]  
Perjuangan Kelas
Sejarah semua masyarakat yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas” (Marx dalam Franz, 2010, hlm. 111)
Dengan menjadikan dasar teori keterasingan pekerjaan, maka akan ada dua kelas utama, kelas atas dan kelas bawah. Borjuis dan proletar. Hubungan yang terjadi antara keduanya adalah hubungan kekuasaan: kelas atas, yang kuat, berkuasa atas kelas bawah, yang lemah. Di sisi lain, masing-masing kelas sosial di masyarakat, menurut Marx, memiliki kepentingannya masing-masing dan akan bertindak sesuai dengan kepentingan tersebut. Yang terjadi adalah, kepentingan kelas atas dan kelas bawah saling bertentangan. Kelas atas menginginkan kelas bawah mendapat upah sekecil-kecilnya agar laba besar, sedangkan, kelas bawah menuntut upah sebesar-besarnya. Tentu, kelas atas tidak akan pernah rela, mereka akan senantiasa mempertahankan sistem yang menguntungkan mereka. Karenanya, perubahan sebuah sistem hanya akan terjadi bila melalui perlawanan, melalui revolusi.
Jika kita menarik hal di atas dalam sistem dunia, kita tentu akan tetap menemukan adanya kelas atas dan kelas bawah. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Lenin bahwa kapitalisme setidaknya membagi dunia menjadi dua bagian, yaitu negara-negara inti (core) dan negara-negara periferi (lemah).[11] Pendapat lain mengenai pembagian negara-negara di dunia dikemukakan pula oleh Wallerstein, menurutnya negara-negara di dunia terbagi menjadi tiga: negara-negara inti, semi-periferi, dan periferi.[12] Sedang, menyoal hubungan di antara keduanya, baik Lenin maupun Wallerstein bersepakat, bahwa terjadi eksploitasi yang dilakukan oleh negara-negara inti terhadap negara periferi, khususnya dalam bidang ekonomi. Lebih jauh, Hobson berpendapat, dalam the state and international relation, semakin jauh perekonomian negara-negara periferi dipengaruhi oleh sistem ekonomi negara-negara inti, intervensi negara-negara inti terhadap negara-negara periferi akan semakin dalam, bahkan menjalar kepada kebijakan politik.[13] Maka, menurut Andre Guther Frank, untuk mengakhiri eksploitasi yang terjadi, dan menggapai kemakmuran negara-negara periferi, adalah dengan memutuskan hubungan dengan negara kapitalis.[14]
Kesimpulan
Pemikiran Marx, pada awalnya, sedikit banyak ditentukan oleh keadaan Prussia, semasa ia remaja. Melihat ketidaksejahteraan buruh-buruh industri pada masa awal revolusi industri dan kapitalisme, dan terpengaruh oleh pemikiran Feuerbach mengenai keterasingan, pada akhirnya membawa Marx pada konsepsinya mengenai keterasingan dalam pekerjaan dan kritiknya terhadap kapitalisme itu sendiri. Konsepsi Marx mengenai keterasingan oleh pekerjaan, membawa Marx pada pemikirannya mengenai perjuangan kelas atau revolusi. Pemikiran mengenai penindasan kelas kuat terhadap kelas lemah, dan cara mengatasi hal tersebut, yaitu, dengan perlawanan, atau revolusi. Pemikiran Marx mengenai kelas dan revolusi inilah yang kemudian mendasari pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh yang tersebut di atas untuk mengkritik kapitalisme secara global. Negara-negara kapitalis yang umumnya adalah negara-negara inti, yang kuat, selalu melakukan intervensi terhadap negara-negara periferi, yang lemah. Dan untuk mengatasi ini semua diperlukan perlawanan, dalam hal ini pemutusan hubungan sebagaimana apa yang dikemukakan oleh Andre Guther Frank pada paragraph sebelumnya.    
Daftar Pustaka
Magnis, Franz. 2010. Pemikiran Karl Marx. Jakarta: Gramedia
Rachmawati, Iva. 2012. Memahami Perkembangan Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Aswaja Pressindo



[1] Franz Magnis, Pemikiran Karl Marx, (Jakarta: Gramedia, 2010), hlm. 1
[2] Ibid., hlm. 3
[3] Ibid., hlm. 46
[4] Ibid., hlm. 47
[5] Ibid., hlm. 48
[6] Ibid., hlm. 71
[7] Ibid., hlm. 74
[8] Ibid., hlm. 79
[9] Ibid., hlm 102
[10] Marx A. Lutz, “The Limitations of Karl Marx’s Social Economics”, Hlm. 9, diakses dari
 http://www.jstor.org/stable/29768983 pada tanggal 19 Maret 2013 pukul 15.00 WIB.
[11] Iva Rachmawati, Memahami Perkembangan Studi Hubungan Internasional, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012), hlm. 120
[12] Ibid., hlm. 124
[13] Ibid., hlm. 120
[14] Ibid., hlm. 132

Tidak ada komentar:

Posting Komentar