Minggu, 21 April 2013

Ujian Nasional Amburadul; Cukup Benahi dan Jangan Dihapus!





Pelaksanaan ujian nasional untuk tingkat pendidikan menengah atas yang tidak cukup baik, saat ini santer dibicarakan. Diundurnya UN secara terpaksa di 11 Provinsi, naskah soal UN dan lembar jawaban yang kurang layak, dan kekurangan jumlah naskah soal dan lembar jawaban adalah beberapa hal yang mengindikasikan pelaksanaan yang kurang baik itu sendiri. Wacana untuk dihapuskannya UN pun kembali menggaung. Wacana ini bukan hanya hadir karena pelaksanaan yang kurang baik, tapi juga atas beberapa alasan, yang salah satunya, alasan klasik, adalah pelaksanaan UN dinilai memberatkan siswa. Di beberapa daerah, mahasiswa menggelar aksi masa untuk ini. Tidak mau ketinggalan, melalui twitternya, Presiden SBY pun mencoba menjaring aspirasi mengenai penghapusan UN. Lantas, perlukah UN dihapus?


Ujian nasional, sebagaimana tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003, bertujuan untuk pengendalian mutu pendidikan secara nasional. Dengan kata lain, UN ini bertujuan menyamakan standar mutu pendidikan secara nasional, walau secara praktiknya disesuaikan dengan keadaan daerah di mana UN dilaksanakan. UN sendiri sebenarnya bukan satu-satunya komponen kelulusan, karena masih pula diperhitungkan nilai sekolah, dengan pembagian 60% untuk nilai ujian nasional dan 40% untuk nilai sekolah, sementara nilai UN minimal yang harus dicapai hanya 5,5. Dua keadaan inilah –tujuan dan posisi atau persentase nilai UN di komponen nilai kelulusan- yang meyakinkan penulis bahwa UN jelas tidak perlu dihapus.

UN, bagi penulis, sebagaimana tujuannya untuk pengendalian mutu pendidikan, sedikit banyak mempengaruhi kualitas belajar mengajar di sekolah. Dengan adanya UN, khususnya siswa, dituntut untuk belajar lebih serius. Hal ini tentu mendorong kualitas pendidikan ke arah yang lebih baik. Selain itu, ujian yang diadakan secara nasional yang bertujuan sebagai upaya standardiasasi mutu pendidikan ini, bagi penulis, adalah hal yang sangat perlu dilakukan. Dari sinilah kualitas belajar mengajar bisa dilihat dan dengannya akan mudah dievaluasi. 

UN, bagi penulis, yang hanya menjadi salah satu komponen kelulusan, dengan kedudukan 60% dan dengan batas nilai UN yang hanya 5,5 seharusnya tidaklah menjadi hal yang memberatkan bagi siswa. Apa yang ada di UN tentu adalah apa yang selama sekolah siswa pelajari, bahkan tidak semua apa yang dipelajari. Belum lagi pemerintah selalu memberikan edaran kisi-kisi terkait dengan soal UN yang akan dikeluarkan. Jadi apa yang sebenarnya memberatkan? Bagi penulis, satu hal yang memberatkan siswa adalah beban persepsi. Siswa telah takut di awal, bahkan sebelum turun ke medan perjuangan. UN terlalu dibesar-besarkan dan salahnya: para siswa hanya menjadikan UN sebagai sebuah momok yang harus ditakuti, bukan sebagai motivasi. 

Cukup Benahi     

Tujuan UN yang baik dan kenyataan bahwa UN tidak begitu memberatkan cukuplah menjadi sandaran bahwa UN tidak perlu dihapus. Bahkan, seharusnya jangan sampai dihapus, kecuali jika kita mempunyai metode lain yang memang dapat dipastikan lebih baik daripada UN. Yang perlu kita lakukan hanyalah membenahi sistem pelaksanaannya: dari mulai penyediaan naskah, distribusi, sampai ke pengawasan. Dan kesalahan yang terjadi di tahun ini, cukuplah menjadi evaluasi bagi kita semua. Mari bersama kita carikan solusi, bahkan jika perlu ikut andil dalam pelaksanaannya nanti; untuk pendidikan Indonesia yang lebih baik. 

Sumber: okezone.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar