Pelaksanaan ujian
nasional untuk tingkat pendidikan menengah atas yang tidak cukup baik, saat ini
santer dibicarakan. Diundurnya UN secara terpaksa di 11 Provinsi, naskah soal
UN dan lembar jawaban yang kurang layak, dan kekurangan jumlah naskah soal dan
lembar jawaban adalah beberapa hal yang mengindikasikan pelaksanaan yang kurang
baik itu sendiri. Wacana untuk dihapuskannya UN pun kembali menggaung. Wacana
ini bukan hanya hadir karena pelaksanaan yang kurang baik, tapi juga atas
beberapa alasan, yang salah satunya, alasan klasik, adalah pelaksanaan UN
dinilai memberatkan siswa. Di beberapa daerah, mahasiswa menggelar aksi masa
untuk ini. Tidak mau ketinggalan, melalui twitternya, Presiden SBY pun mencoba
menjaring aspirasi mengenai penghapusan UN. Lantas, perlukah UN dihapus?
Ujian nasional,
sebagaimana tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003, bertujuan untuk pengendalian
mutu pendidikan secara nasional. Dengan kata lain, UN ini bertujuan menyamakan
standar mutu pendidikan secara nasional, walau secara praktiknya
disesuaikan dengan keadaan daerah di mana UN dilaksanakan. UN sendiri
sebenarnya bukan satu-satunya komponen kelulusan, karena masih pula
diperhitungkan nilai sekolah, dengan pembagian 60% untuk nilai ujian nasional
dan 40% untuk nilai sekolah, sementara nilai UN minimal yang harus dicapai
hanya 5,5. Dua keadaan inilah –tujuan dan posisi atau persentase nilai UN di
komponen nilai kelulusan- yang meyakinkan penulis bahwa UN jelas tidak perlu
dihapus.
UN, bagi penulis,
sebagaimana tujuannya untuk pengendalian mutu pendidikan, sedikit banyak
mempengaruhi kualitas belajar mengajar di sekolah. Dengan adanya UN, khususnya
siswa, dituntut untuk belajar lebih serius. Hal ini tentu mendorong kualitas
pendidikan ke arah yang lebih baik. Selain itu, ujian yang diadakan secara
nasional yang bertujuan sebagai upaya standardiasasi mutu pendidikan ini, bagi
penulis, adalah hal yang sangat perlu dilakukan. Dari sinilah kualitas belajar
mengajar bisa dilihat dan dengannya akan mudah dievaluasi.
UN, bagi penulis, yang
hanya menjadi salah satu komponen kelulusan, dengan kedudukan 60% dan dengan
batas nilai UN yang hanya 5,5 seharusnya tidaklah menjadi hal yang memberatkan
bagi siswa. Apa yang ada di UN tentu adalah apa yang selama sekolah siswa
pelajari, bahkan tidak semua apa yang dipelajari. Belum lagi pemerintah selalu
memberikan edaran kisi-kisi terkait dengan soal UN yang akan dikeluarkan. Jadi
apa yang sebenarnya memberatkan? Bagi penulis, satu hal yang memberatkan siswa
adalah beban persepsi. Siswa telah takut di awal, bahkan sebelum turun ke medan
perjuangan. UN terlalu dibesar-besarkan dan salahnya: para siswa hanya
menjadikan UN sebagai sebuah momok yang harus ditakuti, bukan sebagai motivasi.
Cukup
Benahi
Tujuan UN yang baik dan
kenyataan bahwa UN tidak begitu memberatkan cukuplah menjadi sandaran bahwa UN
tidak perlu dihapus. Bahkan, seharusnya jangan sampai dihapus, kecuali jika kita
mempunyai metode lain yang memang dapat dipastikan lebih baik daripada UN. Yang
perlu kita lakukan hanyalah membenahi sistem pelaksanaannya: dari mulai
penyediaan naskah, distribusi, sampai ke pengawasan. Dan kesalahan yang terjadi
di tahun ini, cukuplah menjadi evaluasi bagi kita semua. Mari bersama kita carikan
solusi, bahkan jika perlu ikut andil dalam pelaksanaannya nanti; untuk
pendidikan Indonesia yang lebih baik.
Sumber: okezone.com
Sumber: okezone.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar