Selasa, 03 Januari 2012

IPA 1, Kaca Mata seorang Faiz...

Liburan telah usai, saatnya untuk kembali sekolah, untuk kembali menuntut ilmu.

Pagi itu, seorang pemuda bangun pagi-pagi, bersiap lebih awal, untuk berangkat lebih pagi. Udara yang cukup dingin tak membuatnya surut untuk menuju ke kamar mandi dan mengguyurkan bergayung-gayung air ke badannya. Sekarang, pemuda itu nampaknya terlihat lebih segar. Ia segera berganti pakaian, sambil mematut-matut wajah di depan cermin kecil yang tertempel di dinding. Dalam hatinya, sang pemuda ingin tampil begitu menawan di hari awal pertemuan dengan teman-teman barunya, di kelas barunya. 
Sang pemuda pun kemudian menuju meja makan, bersanding dengan kedua orang tuanya. Mengambil sepiring nasi dan beberapa lauk, lantas menyantapnya, sambil ngobrol ngalor-ngidul dengan ayahnya. Beradu suara bass!. Nasi pun akhirnya habis tak tersisa di piring. Wajar karena ia jenis orang rakus yang sangat luar biasa, jangan kan nasi, sendok pun habis ia telan. 
Setelah merapikan peralatan makannya, ia menuju ke motor kesayangan. Sebuah motor merah, yang bunyinya, apabila didengarkan dengan seksama, menyiratkan suatu kesedihan yang tak terperi. Bagaimana tidak ia diperlakukan semena-mena oleh sang empunya, tanpa sekalipun merasakan perawatan yang memanjakan. Namun, ia jenis motor yang setia, yang kemudian menjadi legenda.
Motor pun keluar dari peraduan menuju ke jalanan depan rumah sang empunya, sebuah jalan beralaskan paving block yang menurun. Sang pemuda pun segera menaikinya, menginjakkan kakinya pada tuas gigi motor dan menarik gasnya tanpa perasaan. Motor pun melaju. Jangan ditanya bagaimana lajunya, tentu saja tak kan dapat dijelaskan dengan kata-kata. Pemuda ini pun menuju ke sekolahnya.
Sebuah gerbang berwarna abu-abu merah dan dua orang penjaga menyambutnya. Pemuda ini membalas sambutan itu dengan senyum khasnya. Kini sang pemuda tepat berada di kelas lamanya, sebuah kelas yang sedang dan akan dialih fungsikan menjadi bentuk lain mengikuti ambisi sang kepala sekolah. Sang pemuda memarkirkan motornya di sana, tempat andalannya selama satu tahun ke belakang dan dua tahun ke depan.
Kini sang pemuda berjalan, dengan gaya jalannya yang khas, menuju ke kelas barunya. Sebuah kelas di pojok sekolah. Sebuah kelas yang gelap nan pengap. Sebuah kelas yang akan menjadi tempat bagi empat puluh satu orang anak lainnya, untuk bersemayam, belajar, tidur, bergurau, tertawa, berdiskusi, dan masih banyak hal gila lainnya. Ke empat puluh dua anak dari latar belakang kelas yang berbeda-beda sebelumnya.
Sang pemuda pun menemukan kelas tersebut, dan bercengerama dengan penghuninya. Jangan dibayangkan makhluk halus! maksudnya adalah beberapa teman yang lebih dulu masuk. Tak sulit baginya untuk memperkenalkan diri, semua orang rasanya tahu dengan siapa ia sedang berhadapan. Karena pemuda ini adalah seorang maskot bagi angkatan tersebut. Seorang PALU! yah ia adalah Dadang! sesosok manusia misterius.......

***
Usahanya, untuk tampil menawan, ternyata membuahkan hasil. Ya! kini teman-teman di kelas 'memilihnya?' sebagai seorang ketua kelas. Bahkan tanpa pengucapan visi-misi. Hanya beberapa ucapan frontal atau celetukan dari beberapa teman mendelegasikannya menjadi seorang ketua kelas. Demokrasi bagi kelas ini hanyalah secuil kata yang tak memiliki fungsi.
Dadang pun kini menjadi seorang Ketua Kelas XI IPA 1, menjadi representasi dari kelas tersebut. Oh tidak! Dadang sebenarnya tidak merepresentasikan kelas tersebut! Ya! seperti ketua-ketua kelas lainnya di sekolah ini, ketua kelas hanyalah jenis kata yang lebih lembut untuk menyatakan 'babu' secara tidak langsung. Bagaimana tidak, terkadang bahkan sering kali ucapan seorang ketua kelas hanya dianggap sebagai sebuah angin yang berlalu. Namun ini tidak berlaku untuk semua memang, bergantung sebenarnya kepada bagaimana seorang ketua kelas tampil memukau di depan khalayak. Dan Dadang sama sekali tidak menunjukkan hal ini.

Bersambung.....