Rabu, 26 September 2012

Hiroshima & Nagasaki

Kekhawatiran Oppenheimer: Sebuah Ramalan Tak Terbantahkan

Review kali ini akan membahas mengenai peristiwa penjatuhan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Bahan utama yang akan digunakan dalam review merupakan Film berjudul Hiroshima karya Koreyoshi Kurahara dan Roger Spottiswoode. Pembanding review ini diambil dari beberapa jurnal. Adapun hal yang menjadi perhatian utama penulis pada film ini adalah kekhawatiran Dr. Oppenheimer mengenai dampak dari penjatuhan bom atom di kemudian hari.

Film diawali dengan cerita mengenai keadaan dunia di akhir perang dunia kedua. Diceritakan bahwa kondisi Nazi Jerman dan sekutunya telah terdesak oleh Amerika dan sekutu pada April 1945. Kekalahan Nazi Jerman dan sekutunya mengantarkan pada harapan berakhirnya perang dunia kedua. Namun, di belahan dunia lain, tepatnya di Pasifik, Jepang masih terus melakukan perlawanan sengit terhadap pihak Amerika. Meskipun Perang Pasifik telah menyebabkan lebih dari satu juta jiwa rakyat Jepang dan sekitar sembilan ratus ribu tentara Amerika meninggal, perang tersebut seolah tidak menunjukkan segera akan berakhir mengingat idealisme rakyat Jepang yang tak mudah menyerah.

Sabtu, 01 September 2012

Sepenggal Kisah Perjalan

Sepenggal Kisah Perjalan
Oleh: Faiz Fadhlih Muhammad

Jalan ke Sekolah merupakan sebuah film dokumenter yang tersusun oleh sekumpulan foto yang diberi tulisan kalimat-kalimat tertentu sebagai narasi. Film tersebut berlatarkan sebuah desa terpencil dan marjinal. Secara garis besar, film tersebut menceritakan bagaimana sulitnya mengakses pendidikan di sebuah desa terpencil, akan tetapi semangat yang membara tak pernah sedikitpun menyurutkan langkah anak-anak desa tersebut untuk tidak pergi ke sekolah. Ada satu hal yang amat menarik dari film tersebut, yaitu pesan di akhir film. Pesan tersebut kurang lebih berisi teguran yang seolah-olah berkata: pada akhirnya pendidikan tidaklah membawa apa-apa, ketika banyak orang lulus bersekolah, sedangkan, hamparan luas sawah dan jenis kekayaan alam lainnya terabaikan tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakatnya karena orang-orang terdidik tersebut meninggalkan kampungnya dan cenderung memilih untuk tinggal di perkotaan.

Menonton film tersebut, seperti memutar sedikit memori di kepala. Sebuah memori mengenai sebuah perjalanan, melintasi jalanan hitam legam dan sempit, sedang di kanan dan kirinya terhampar persawahan, perkebunan, hutan, atau sekerumunan ilalang. Sebuah perjalan menuju sebuah kampong bernama Kampung Cidikit, yang secara administratif terletak di Desa Hariang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Kampung tersebut, dirasa cukup jauh, mungkin karena juga medannya yang terkesan sulit, sekitar 70 KM dari pusat kota Kabupaten Lebak, Rangkas Bitung. Jalanannya berkelok, naik dan turun, curam, dan sekitar satu kilo meter jalanannya hanya tanah berlapis batu kali, terjal. Perjalanan yang melelahkan, walaupun kemudian rasa lelah terbayar oleh hamparan indah panorama alamnya, dan keramahtamahan beberapa warganya.

Perjalan tersebut merupakan sebuah perjalan dengan misi, dapat dibilang, menyuarakan pendidikan, dan membagi sedikit apa yang didapat ke anak-anak desa setempat. Kegitannya berupa kegiatan belajar mengajar di kelas, seperti kegiatan belajar mengajar biasa, yang membedakan mungkin hanya pembawaan dan pakaian kami yang agak santai dan tidak kaku. Intinya, kegiatan ini berawal dari rasa ingin berbagi, ingin menginspirasi. Kerennya, kegiatan ini bearasaskan kesadaran kami, sebagai manusia terdidik untuk menyuarakan pendidikan dan turut berpartisipasi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Mari bicara mengenai pendidikan..

Pendidikan, menurut Ki Hajar Dewantara, berorientasi untuk memanusiakan manusia. Manusia pada dasarnya merupakan makhluk sempurna, di mana Tuhan YME telah melengkapinya selain dengan bentuk fisik yang sempurna, insting, akan tetapi juga akal dan nurani, maka, memanusiakan manusia dapat berarti mengarahkan manusia untuk berlaku sesuai dengan apa yang Tuhan anugerahkan kepadanya. Sejalan dengan itu, pada undang-undang nomor 20 tahun 2003, dikatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Lantas apakah kita telah sampai pada tujuan pendidikan nasional kita?

Masih mengenai tujuan pendidikan, pengalaman dalam misi Mari Mengajar, dan kaitannya dengan pesan di akhir cerita pada film dokumenter Jalan ke Sekolah yang mengungkapkan kekecewaan mengenai tak kunjung adanya perubahan atau, lembutnya, tak relevannya perubahan yang terjadi dengan banyaknya pemuda yang telah lulus bersekolah. Terkait semua itu, setidaknya ada beberapa hal yang menjadi perhatian dan bahan perenungan penulis, yaitu: Pertama, pengalaman yang kita dapat harus senantiasa kita ingat agar tidak ada istilah kacang melupakan kulitnya, kita melupakan dari mana kita berasal. Kedua, kita, sebagai seorang yang menyelami dunia pendidikan, adalah harapan orang-orang di sekeliling kita, dan sekaligus menjadi tanggung jawab kita untuk menjawab setiap harapan mereka. Terakhir, perlu kita sadari bahwa masih begitu banyak daerah yang tertinggal dan terpencil, seperti gambaran di atas, sehingga, effort kita untuk berbuat lagi dan lagi haruslah terus kita tingkatkan.

Padangan pribadi tentang Cidikit 

Pertama, mungkin telah menjadi sebuah sifat manusia Indonesia untuk beranggapan bahwa mereka orang asing, asalkan terlihat lebih dari mereka dari segi apapun termasuk pendidikannya, adalah orang yang lebih berkualitas daripada mereka. Hal inilah yang mungkin dalam ilmu sosiologi disebut sebagai kecenderungan xenosentris. Hal ini pun yang terjadi di Cidikit, yaitu bagaimana seorang Kepala Sekola SD Negri 2 Hariang berlebihan berekspektasi tinggi dengan kedatangan dan hasil yang kami tinggalkan, padahal jelas sebuah transformasi dan pembelajaran tak mungkin sempurna jika dilakukan hanya dalam waktu tiga atau empat hari. Dan jelas pula bahwa sejatinya, kamilah yang belajar banyak dari mereka, mengenai pengabdian, pengorbanan, dan keikhlasannya.

Kedua, entah mengapa, di desa-desa di terpencil di pelosok daerah, jarang sekali rumah memiliki kamar mandi yang layak. Layak di sini dalam artian tertutup, dan dilengkapi dengan selain bak juga tempat membuang hajat. Para penduduk di sana cenderung untuk melakukannya di sungai. Padahal, jika kita melihat segi keamanan dan kesehatan, jelas urgensi untuk memiliki kakus sangatlah tinggi.

Kedua hal di atas menurut penulis merupakan sifat atau kebiasaan yang harus sedikit demi sedikit di rubah. Mengapa? Hal yang pertama jelas mengisyaratkan rasa rendah diri, sedangkan telah kita ketahui bahwa sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang mandiri, yang yakin pada kemampuannya diri sendiri. Hal ini bukan berarti pula kita tidak menerima hal dari luar, akan tetapi, beranggapan sewajarnya dan tidak menerima mentah-mentah apa yang mereka bawa, kecuali yang baik, adalah hal yang perlu kita lakukan. Hal yang kedua juga perlu kita rubah, karena bangsa yang besar, adalah bangsa yang begitu memperhatikan kesehatan, keamanan, serta harkat dan martabatnya. Tengok sajalah Singapura, bagaimana mereka begitu memperhatikan aspek-aspek tersebut.

Mengakhiri tulisan ini, dari apa segala informasi yang dihimpun dari prosesi melihat, mendengar, dan merasakan. Penulis sampai pada kesimpulan, jika suatu kegiatan pengabdian masyarakat yang akan kita lakukan agar dapat benar-benar dirasakan dampaknya, haruslah menyentuh atau menyadarkan, baik kita maupun warga, pada ketiga hal, yaitu pentingnya pendidikan dan pengembalian pendidikan tersebut untuk pemberdayaan daerah tersebut; meningkatkan kepercayaan diri dan kemandirian warga; dan menumbuhkembangkan kesadaran warga akan perilaku hidup bersih dan sehat.