Rabu, 26 September 2012

Hiroshima & Nagasaki

Kekhawatiran Oppenheimer: Sebuah Ramalan Tak Terbantahkan

Review kali ini akan membahas mengenai peristiwa penjatuhan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Bahan utama yang akan digunakan dalam review merupakan Film berjudul Hiroshima karya Koreyoshi Kurahara dan Roger Spottiswoode. Pembanding review ini diambil dari beberapa jurnal. Adapun hal yang menjadi perhatian utama penulis pada film ini adalah kekhawatiran Dr. Oppenheimer mengenai dampak dari penjatuhan bom atom di kemudian hari.

Film diawali dengan cerita mengenai keadaan dunia di akhir perang dunia kedua. Diceritakan bahwa kondisi Nazi Jerman dan sekutunya telah terdesak oleh Amerika dan sekutu pada April 1945. Kekalahan Nazi Jerman dan sekutunya mengantarkan pada harapan berakhirnya perang dunia kedua. Namun, di belahan dunia lain, tepatnya di Pasifik, Jepang masih terus melakukan perlawanan sengit terhadap pihak Amerika. Meskipun Perang Pasifik telah menyebabkan lebih dari satu juta jiwa rakyat Jepang dan sekitar sembilan ratus ribu tentara Amerika meninggal, perang tersebut seolah tidak menunjukkan segera akan berakhir mengingat idealisme rakyat Jepang yang tak mudah menyerah.

Ditengah keadaan yang sedang sangat genting, Presiden F. D. Roosevelt meninggal dunia, sehingga kemudian, menurut peraturan yang berlaku, F.D. Roosevelt digantikan kepresidenannya oleh wakilnya, yaitu Harry S. Truman. Truman yang pada dasarnya jarang diikutsertakan dalam pengambilan keputusan dan rapat ketika menjadi wakil, dalam rapat kabinet pertamanya cenderung mencoba untuk mendapatkan informasi terbaru mengenai keadaan perang, khususnya melawan Jepang.

Suatu saat Truman diberitahukan mengenai Proyek Manhattan dalam sebuah pertemuan antara Truman, Stimson, dan Grove. Dalam pertemuan itu, Groves mendesak agar dilakukan uji coba terhadap satu dari tiga bom Proyek Manhattan pada pertengahan July, dan mendesak pula untuk menggunakan dua lainnya untuk mengakhiri perang pasifik. Truman sempat menentang dengan alasan ketakutan akan pelanggaran terhadap Perjanjian Jenewa. Namun, Grove meyakinkan bahwa sehebat apa daya hancur bom tersebut, bom itu tetap sebuah bom dan tidak akan dipermasalahkan.

Sebenarnya, Proyek Manhattan merupakan proyek yang masih menimbulkan dilema termasuk bagi Oppenheimer yang merupakan Pimpinan dari Proyek itu. Di satu sisi Oppenheimer meyakini mengenai keberhasilan penelitiannya yang menandakan sebuah temuan baru yang luar biasa, tetapi di sisi lain, Oppenheimer juga meyakini bahwa bom ini akan menimbulkan kehancuran peradaban manusia.
        
      Pada akhirnya, pada tanggal 1 Juni 1945, pemerintahan Amerika mengambil keputusan untuk menggunakan bom tersebut secepat mungkin untuk menyerang Jepang, dijatuhkan di pusat-pusat militer Jepang, dan dijatuhkan tanpa ada peringatan sebelumnya.
            
          Di Jepang sendiri, beberapa petinggi Tentara Jepang mempertahankan agar Jepang terus menyerang. Mereka meyakini bahwa dengan semangat pantang menyerah tentara Jepang, mereka akan memenangkan perang melawan Amerika. Namun, di pihak lain, para petinggi pemerintahan cenderung ingin mengakhiri perang dengan jalur diplomasi, yaitu jalur diplomasi negosiasi yang di fasilitasi oleh pihak ketiga. Adapun pihak ketiga yang mereka ajukan adalah Rusia. Namun, Rusia seolah enggan untuk melakukan hal tersebut dengan tidak adanya itikad Stalin untuk menerima utusan dari Jepang.
          
        Pada suatu pertemuan yang membahas mengenai penyerangan ke Jepang, muncul sebuah ide agar Truman mengeluarkan pernyataan untuk mengakhiri peperangan ini, mencegah agar Amerika tidak melakukan hal-hal yang di luar batas. Namun, dengan segala kecongkakannya Truman enggan melakukan hal tersebut. Sampai akhirnya muncul sebuah ide agar Truman, sebelum melakukan penyerangan, terlebih dahulu memberikan peringatan dan pemberitahuan mengenai senjata yang mereka miliki. Ultimatum tersebut pada akhirnya disampaikan pada Pertemuan Postdam yang kemudian dijawab oleh Jepang dengan istilah yang dikenal “mokusatsu”, yang kemudian diartikan oleh Amerika sebagai rejecting, dan menjadi hal yang meyakinkan Amerika untuk menjatuhkan bom atom.

Pada tanggal 16 Juli, uji coba bom nuklir pertama dilakukan, dan dinyatakan berhasil. Beberapa orang melakukan pesta, termasuk Truman dan Stimson yang saat itu sedang berada di Jerman, tetapi tidak dengan Dr. Oppenheimer yang merasa khawatir dengan penggunaannya. Dr. Oppenheimer khawatir mengenai banyaknya korban yang akan berjatuhan dan juga mengenai penggunaan bom nuklir di masa yang akan datang.
          
          Pada akhirnya, kekhawatiran Oppenheimer mengenai banyaknya orang yang akan menjadi korban pun terjawab ketika bom tersebut dijatuhkan pada tanggal 6 Agustus 1945 di Hiroshima. Dijelaskan dalam film tersebut bahwa korban bom Hiroshima mencapai 130.000 jiwa.
       
          Dari film ini, beberapa pernyataan Oppenheimer mengenai kekhawatirannya akan dampak penjatuhan bom atom menjadi hal yang menarik untuk ditelusuri lebih lanjut oleh penulis. Penulis mengklasifikasikan kekhawatiran Oppenheimer menjadi kekhawatiran akan dampak langsung dan dampak tidak langsung dari penjatuhan bom tersebut. Kekhawatiran dampak langsung mewakili kekhawatiran akan banyaknya korban dan kerugian, dan juga efek radiasi daripada bom atom tersebut. Sedangkan, kekhawatiran tidak langsung mewakili dampak bom atom tersebut terhadap perlombaan pembuatan bom-bom atom lainnya. Kedua kekhawatiran itu terangkum dalam penyataan bahwa manusia akan menghabisi hidupnya sendiri dengan persenjataan canggih yang diciptakannya sendiri.
            
            Dalam sebuah artikel, artikel pembanding, dijelaskan bahwa setidaknya pemboman di Hiroshima dan Nagasaki telah menghanguskan 200000 ribu jiwa, belum lagi selama kurang lebih lima tahun, radiasi bom tersebut menyebabkan penyakit kanker dan kelainan genetika. Sehingga, seorang ibu seringkali melahirkan anak-anak yang cacat secara fisik atau cacat secara mental.[1] Secara materil, artikel lain menyatakan bahwa setidaknya bangunan dalam radius dua kilometer dari pusat ledakan hangus, bahkan dinyatakan menjadi debu, hanya terdapat sedikit puing-puing beton; dalam radius tiga kilometer 90 % bangunan hancur seperti karena diakibatkan oleh factor kebakaran dan ledakan; dan dalam radius empat kilometer masih pula ditemukan ditemukan beberapa bangunan yang hangus.[2] Data di atas menjelaskan jika benar bahwa apa yang selama ini dikhawatirkan oleh Oppenheimer terjadi.
         
           Telah menjadi suatu kesepakatan kita bersama, bahwa berakhirnya perang dunia kedua menjadi awal bagi lahirnya perang dingin. Amerika dan Soviet yang merupakan dua kekuatan besar pada pihak pemenang perang memiliki ideologi yang keduanya, khususnya Soviet, berkeinginan untuk menyebarluaskan ideologinya. Secara kasat mata memang perang dingin inilah yang kemudian menyebabkan persaingan dalam hal persenjataan, salah satunya bom atom. Dan secara tidak kasat mata, menurut penulis, satu hal yang turut mengakselerasi persaingan bom atom adalah Proyek Manhattan, Little Boy dan Fat man.
           
           Apa yang dikatakan di atas didasari oleh teori balance of power[3], teori yang menyatakan bahwa selama setiap negara memiliki kondisi yang sama, terutama dalam hal persenjataan, maka kecenderungan untuk saling menyerang atau yang satu menyerang yang lain cenderung hilang. Teori ini pun membawa pada kecenderungan bahwa setiap negara akan berusaha untuk setidaknya menyamakan kondisi persenjataannya dengan negara lain, negara saingannya. Sebagai contoh, ketika ada isu bahwa Jerman mengembangkan bom atom, maka, Amerika pun kemudian mengembangkan bom atom, Proyek Manhattan. Begitu pula dengan Uni Soviet, ketika Amerika mengembangkan bom atom, seolah tidak mau kalah, Soviet pun mengembangkan bom atom. Hal ini jugalah yang menjadi kekhawatiran dari Oppenheimer, yaitu, kekhawatiran bahwa akan ada bom-bom atom lain yang diciptakan yang bahkan memiliki kekuatan satu juta ton TNT.  
         
         Sehingga, bagi penulis, penggunaan bom atom pada peristiwa Hiroshima dan Nagasaki, bahkan sampai kapanpun dan dimanapun, merupakan hal yang kurang tepat untuk dilakukan. Hal ini didasari bahwa begitu banyak korban dan kerugian yang diakibatkan oleh peledakkan bom atom tersebut, dan dampaknya pada upaya pengembangan bom-bom lain yang lebih canggih yang akan menjadi ancaman nyata bagi peradaban manusia sendiri. Adapun alasan bahwa bom tersebut bertujuan untuk mengakhiri perang dan mencegah lebih banyak lagi korban perang, adalah egoisme Amerika semata agar tidak banyak dari pihaknya yang mati dan karena perasaan ketidakrelaan Amerika yang telah menghabiskan banyak uang sedang bom tidak digunakan. Alasan tersebut menurut penulis tidaklah tepat karena pada dasarnya Amerika memiliki kekuatan militer yang lebih kuat dibandingkan dengan Jepang dan lambat laun Jepang akan kalah dengan sendirinya.





[1] James N Yamazaki dan Louis B Fleming, “Children of the Atomic Bomb: An American Physician’s Memoir of Nagasaki, Hiroshima, and Marshall Islands”, dalam British Medical Journal, Vol. 311, No.7001, hlm. 398
[2] Joanne Silberner, “Thirty Six Years Later, the Struggle Continues”, dalam  Science News, Vol. 120, No. 18 (Oct. 31, 1981), hlm. 284-285
[3] Shiveta Singh, “Balance of Power”, diakses dari http://www.britannica.com/EBchecked/topic/473296/balance-of-power pada 25 September 2012 pukul 02.00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar