Sepenggal Kisah Perjalan
Oleh:
Faiz Fadhlih Muhammad
Jalan ke Sekolah
merupakan sebuah film dokumenter yang tersusun oleh sekumpulan foto yang diberi
tulisan kalimat-kalimat tertentu sebagai narasi. Film tersebut berlatarkan
sebuah desa terpencil dan marjinal. Secara garis besar, film tersebut
menceritakan bagaimana sulitnya mengakses pendidikan di sebuah desa terpencil,
akan tetapi semangat yang membara tak pernah sedikitpun menyurutkan langkah
anak-anak desa tersebut untuk tidak pergi ke sekolah. Ada satu hal yang amat
menarik dari film tersebut, yaitu pesan di akhir film. Pesan tersebut kurang
lebih berisi teguran yang seolah-olah berkata: pada akhirnya pendidikan
tidaklah membawa apa-apa, ketika banyak orang lulus bersekolah, sedangkan, hamparan
luas sawah dan jenis kekayaan alam lainnya terabaikan tidak membawa
kesejahteraan bagi masyarakatnya karena orang-orang terdidik tersebut
meninggalkan kampungnya dan cenderung memilih untuk tinggal di perkotaan.
Menonton film tersebut, seperti memutar sedikit memori di kepala. Sebuah memori mengenai sebuah perjalanan, melintasi jalanan hitam legam dan sempit, sedang di kanan dan kirinya terhampar persawahan, perkebunan, hutan, atau sekerumunan ilalang. Sebuah perjalan menuju sebuah kampong bernama Kampung Cidikit, yang secara administratif terletak di Desa Hariang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Menonton film tersebut, seperti memutar sedikit memori di kepala. Sebuah memori mengenai sebuah perjalanan, melintasi jalanan hitam legam dan sempit, sedang di kanan dan kirinya terhampar persawahan, perkebunan, hutan, atau sekerumunan ilalang. Sebuah perjalan menuju sebuah kampong bernama Kampung Cidikit, yang secara administratif terletak di Desa Hariang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.
Kampung
tersebut, dirasa cukup jauh, mungkin karena juga medannya yang terkesan sulit,
sekitar 70 KM dari pusat kota Kabupaten Lebak, Rangkas Bitung. Jalanannya berkelok,
naik dan turun, curam, dan sekitar satu kilo meter jalanannya hanya tanah
berlapis batu kali, terjal. Perjalanan yang melelahkan, walaupun kemudian rasa
lelah terbayar oleh hamparan indah panorama alamnya, dan keramahtamahan beberapa
warganya.
Perjalan
tersebut merupakan sebuah perjalan dengan misi, dapat dibilang, menyuarakan
pendidikan, dan membagi sedikit apa yang didapat ke anak-anak desa setempat.
Kegitannya berupa kegiatan belajar mengajar di kelas, seperti kegiatan belajar
mengajar biasa, yang membedakan mungkin hanya pembawaan dan pakaian kami yang
agak santai dan tidak kaku. Intinya, kegiatan ini berawal dari rasa ingin
berbagi, ingin menginspirasi. Kerennya, kegiatan ini bearasaskan kesadaran
kami, sebagai manusia terdidik untuk menyuarakan pendidikan dan turut
berpartisipasi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Mari bicara mengenai
pendidikan..
Pendidikan,
menurut Ki Hajar Dewantara, berorientasi untuk memanusiakan manusia. Manusia
pada dasarnya merupakan makhluk sempurna, di mana Tuhan YME telah melengkapinya
selain dengan bentuk fisik yang sempurna, insting, akan tetapi juga akal dan
nurani, maka, memanusiakan manusia dapat berarti mengarahkan manusia untuk
berlaku sesuai dengan apa yang Tuhan anugerahkan kepadanya. Sejalan dengan itu,
pada undang-undang nomor 20 tahun 2003, dikatakan bahwa tujuan pendidikan
nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Lantas apakah kita telah sampai pada tujuan pendidikan nasional kita?
Masih mengenai tujuan pendidikan, pengalaman dalam misi Mari Mengajar, dan kaitannya dengan pesan di akhir cerita pada film dokumenter Jalan ke Sekolah yang mengungkapkan kekecewaan mengenai tak kunjung adanya perubahan atau, lembutnya, tak relevannya perubahan yang terjadi dengan banyaknya pemuda yang telah lulus bersekolah. Terkait semua itu, setidaknya ada beberapa hal yang menjadi perhatian dan bahan perenungan penulis, yaitu: Pertama, pengalaman yang kita dapat harus senantiasa kita ingat agar tidak ada istilah kacang melupakan kulitnya, kita melupakan dari mana kita berasal. Kedua, kita, sebagai seorang yang menyelami dunia pendidikan, adalah harapan orang-orang di sekeliling kita, dan sekaligus menjadi tanggung jawab kita untuk menjawab setiap harapan mereka. Terakhir, perlu kita sadari bahwa masih begitu banyak daerah yang tertinggal dan terpencil, seperti gambaran di atas, sehingga, effort kita untuk berbuat lagi dan lagi haruslah terus kita tingkatkan.
Masih mengenai tujuan pendidikan, pengalaman dalam misi Mari Mengajar, dan kaitannya dengan pesan di akhir cerita pada film dokumenter Jalan ke Sekolah yang mengungkapkan kekecewaan mengenai tak kunjung adanya perubahan atau, lembutnya, tak relevannya perubahan yang terjadi dengan banyaknya pemuda yang telah lulus bersekolah. Terkait semua itu, setidaknya ada beberapa hal yang menjadi perhatian dan bahan perenungan penulis, yaitu: Pertama, pengalaman yang kita dapat harus senantiasa kita ingat agar tidak ada istilah kacang melupakan kulitnya, kita melupakan dari mana kita berasal. Kedua, kita, sebagai seorang yang menyelami dunia pendidikan, adalah harapan orang-orang di sekeliling kita, dan sekaligus menjadi tanggung jawab kita untuk menjawab setiap harapan mereka. Terakhir, perlu kita sadari bahwa masih begitu banyak daerah yang tertinggal dan terpencil, seperti gambaran di atas, sehingga, effort kita untuk berbuat lagi dan lagi haruslah terus kita tingkatkan.
Padangan pribadi
tentang Cidikit
Pertama, mungkin telah menjadi sebuah sifat manusia Indonesia untuk beranggapan bahwa mereka orang asing, asalkan terlihat lebih dari mereka dari segi apapun termasuk pendidikannya, adalah orang yang lebih berkualitas daripada mereka. Hal inilah yang mungkin dalam ilmu sosiologi disebut sebagai kecenderungan xenosentris. Hal ini pun yang terjadi di Cidikit, yaitu bagaimana seorang Kepala Sekola SD Negri 2 Hariang berlebihan berekspektasi tinggi dengan kedatangan dan hasil yang kami tinggalkan, padahal jelas sebuah transformasi dan pembelajaran tak mungkin sempurna jika dilakukan hanya dalam waktu tiga atau empat hari. Dan jelas pula bahwa sejatinya, kamilah yang belajar banyak dari mereka, mengenai pengabdian, pengorbanan, dan keikhlasannya.
Pertama, mungkin telah menjadi sebuah sifat manusia Indonesia untuk beranggapan bahwa mereka orang asing, asalkan terlihat lebih dari mereka dari segi apapun termasuk pendidikannya, adalah orang yang lebih berkualitas daripada mereka. Hal inilah yang mungkin dalam ilmu sosiologi disebut sebagai kecenderungan xenosentris. Hal ini pun yang terjadi di Cidikit, yaitu bagaimana seorang Kepala Sekola SD Negri 2 Hariang berlebihan berekspektasi tinggi dengan kedatangan dan hasil yang kami tinggalkan, padahal jelas sebuah transformasi dan pembelajaran tak mungkin sempurna jika dilakukan hanya dalam waktu tiga atau empat hari. Dan jelas pula bahwa sejatinya, kamilah yang belajar banyak dari mereka, mengenai pengabdian, pengorbanan, dan keikhlasannya.
Kedua, entah mengapa, di desa-desa di terpencil di
pelosok daerah, jarang sekali rumah memiliki kamar mandi yang layak. Layak di
sini dalam artian tertutup, dan dilengkapi dengan selain bak juga tempat
membuang hajat. Para penduduk di sana cenderung untuk melakukannya di sungai. Padahal,
jika kita melihat segi keamanan dan kesehatan, jelas urgensi untuk memiliki
kakus sangatlah tinggi.
Kedua hal di atas menurut penulis merupakan sifat atau
kebiasaan yang harus sedikit demi sedikit di rubah. Mengapa? Hal yang pertama
jelas mengisyaratkan rasa rendah diri, sedangkan telah kita ketahui bahwa
sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang mandiri, yang yakin pada
kemampuannya diri sendiri. Hal ini bukan berarti pula kita tidak menerima hal
dari luar, akan tetapi, beranggapan sewajarnya dan tidak menerima mentah-mentah
apa yang mereka bawa, kecuali yang baik, adalah hal yang perlu kita lakukan. Hal
yang kedua juga perlu kita rubah, karena bangsa yang besar, adalah bangsa yang
begitu memperhatikan kesehatan, keamanan, serta harkat dan martabatnya. Tengok sajalah
Singapura, bagaimana mereka begitu memperhatikan aspek-aspek tersebut.
Mengakhiri tulisan ini, dari apa segala informasi yang
dihimpun dari prosesi melihat, mendengar, dan merasakan. Penulis sampai pada
kesimpulan, jika suatu kegiatan pengabdian masyarakat yang akan kita lakukan agar
dapat benar-benar dirasakan dampaknya, haruslah menyentuh atau menyadarkan,
baik kita maupun warga, pada ketiga hal, yaitu pentingnya pendidikan dan
pengembalian pendidikan tersebut untuk pemberdayaan daerah tersebut;
meningkatkan kepercayaan diri dan kemandirian warga; dan menumbuhkembangkan
kesadaran warga akan perilaku hidup bersih dan sehat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar