Falsifikasi
Terhadap Konsep-Konsep Paradigma Realis dalam Ilmu Hubungan Internasional
I.
Karl
Raymond Popper dan Teori Falsifikasi
Karl
Raymond Popper merupakan seorang filsuf yang lahir di Wiena pada tahun 1902,
dan meninggal dunia pada tahun 1994. Ia merupakan salah satu filsuf yang cukup
berpengaruh bagi filsafat ilmu pengetahuan abad dua puluh. Beberapa karyanya
yang terkenal meliputi The Logic of
Scientific Discovery (1959), The Open Society and Its Enemies (1945), The
Poverty of Historicism (1957), dan lain-lain. Sumbangan tebesar Popper
dalam filsafat ilmu adalah pemikirannya mengenai falsifikasi.
Jika
melihat masa hidupnya, Popper hidup ketika aliran positivisme dan
empirisme mendominasi di Wiena. Kedua aliran tersebut dikembangkan oleh
sebuah kelompok yang disebut Lingkaran Wiena. Pemikiran positivism dan empirism
sendiri merupakan pemikiran yang menjadikan pengalaman, pengamatan, atau
percobaan, yang pada dasarnya induktif, sebagai satu-satunya sumber pembenaran,
sumber pengetahuan. Juga, bagi mereka verifikasi adalah metode yang paling
tepat untuk menkonstruksi ilmu pengetahuan: menentukan garis batas antara pernyataan
‘bermakna’ dan ‘tidak bermakna’.[1]
Anehnya Popper menyangkal itu, dengan teorinya, yaitu, teori falsifikasi.
Falsifikasi
pada dasarnya merupakan lawan dari verifikasi. Jika verifikasi mencoba mencari
pembenaran atas sebuah teori, maka, falsifikasi sebaliknya: mencoba untuk
mencari kesalahan atau menyalahkan teori tersebut. Adapun tujuannya adalah
membedakan antara science dan pseudo-science. Sebuah teori yang tidak dapat terfalsifikasi digolongkan
sebagai pseudo-science. Sebaliknya,
yang dapat terfalsifikasi digolong sebagai science.
Mengenai
apa yang sebenarnya mendasari Popper menyoal falsifikasi ini, maka mungkin kita
dapat mencermati pernyataannya, sebagai berikut:
“It was the summer of 1919 that I began to feel more
and more dissatisfied with these three theories—the Marxist theory of history,
psycho-analysis, and individual psychology; and I began to feel dubious about
their claims to scientific status. My problem perhaps first took the simple
form, "What is wrong with Marxism, psycho-analysis, and individual
psychology? Why are they so different from physical theories, from Newton's
theory, and especially from the theory of relativity?"[2]
Jadi
apa yang mendasari Popper menyoal falsifikasi ini adalah keraguannya akan
status ilmiah (science) dari beberapa
teori -Marxist Theory of History dan lainnya- yang dia temukan. Baginya
teori-teori tersebut lebih menyerupai primitive
myths daripada science.[3]
Mengenai alasannya berpikir seperti itu, Popper menceritakannya dalam
beberapa kalimat berikut:
“….
A Marxist could not open a newspaper without finding on every page confirming
evidence for his interpretation of history; not only in the news, but also in
its presentation — which revealed the class bias of the paper — and especially
of course what the paper did not say. The Freudian analysts emphasized that
their theories were constantly verified by their "clinical
observations."……”[4]
Dari
kalimat tersebut, Popper seolah mengatakan pada akhirnya ketika kita menjadi Marxist atau Freudian Analyst, kita
akan cenderung menggunakan teori-teori tersebut sebagai landasan kita untuk
berpikir dan seolah semua fenomena yang kita temukan mengkonfirmasi kebenaran
teori-teori tersebut. Teori-teori tersebut pada akhirnya seolah tidak memiliki
titik atau probabilitas untuk disalahkan, atau tidak dapat difalsifikasi. Maka,
Popper menggolongkan teori-teori tersebut sebagai pseudo-science. Berbeda dengan ketiga teori tersebut, Popper
memandang teori-teori Newton dan Einstein sebagai scince, karena hadir atas dasar falsifikasi dan dapat difalsifikasi
dengan hadirnya asumsi-asumsi tertentu. Dan begitulah, menurut Popper ilmu
pengetahuan berkembang: atas dasar falsifikasi.[5]
Beberapa
contoh falsifikasi sederhana:
1.
Falsifikasi
terhadap teori bahwa semua benda akan memuai apabila dipanaskan. Kenyataannya,
air akan menyusut jika dipanaskan dari suhu 0 0C – 40C.
Hal ini kemudian memunculkan sebuah teori baru mengenai sifat anomali air.
2.
Falsifikasi
terhadap teori kosmologi yang dikemukakan Isaac Newton oleh teori relativitas
yang dikemukakan oleh Albert Einstein. Kenyataannya saat ini, sebuah penelitian
yang dilakukan oleh Arthur Eddingthon menyatakan bahwa teori relativitas Einsten lebih mendekati kebenaran
dibandingkan teori kosmologi Newton.
3.
Falsifikasi
terhadap teori geosentris yang menyatakan bahwa bumi adalah pusat tata surya
oleh teori heliosentris yang menyatakan bahwa mataharilah pusatnya.
Kenyataannya pada saat ini, kecanggihan teknologi secara jelas menunjukan bahwa
matahari adalah pusat tata surya.
II.
Paradigma
Realis dalam Ilmu Hubungan Internasional
Paradigma
realis adalah paradigm yang paling dominan digunakan oleh ilmuan-ilmuan
Hubungan Internasional, dari dulu hingga saat ini. Akar pemikiran dari paradigm
realis adalah pemikiran Thucydes yang tertuang dalam karyanyanya mengenai Peloponnesian War, Machiavelli dalam karyanya The
Prince, Thomas Hobbes dalam karyanya Leviathan,
dan lain-lain. Peloponnesian War menceritakan
mengenai perang antara Athena dan Sparta. Mengenai hal tersebut kesimpulan yang
dapat ditarik, Thucydides berpikir bahwa penyebab dari terjadinya perang tersebut
adalah kemajuan kekuatan militer Athena dan rasa insecurity Sparta akibat hal tersebut. The Prince lebih menceritakan bagaimana seharusnya karakteristik
seorang pemimpin dan bagaimana karakteristik interest suatu negara: tentang stabilitas, kesejahteraan, dan
keamanan rakyat dan negara. Sedangkan, Leviathan
menceritakan bahwa sistem duniaadalah anarki, yang didefinisikan sebagai
ketiadaan kekuasaan politik tertinggi. Menurut Hobess, anarki pula dikatakan
sebagai war of all against all[6].
Ketiadaan kekuasaan politik tertinggi inilah yang menyebabkan perang dapat
terjadi.
Dari
akar pemikiran realis yang disebutkan di atas, dapat kita simpulkan beberapa
hal. Pertama, paradigm realis memandang bahwa negara merupakan aktor utama
dalam hubungan internasional. Kedua, fokus paradigm realis adalam mengenai
perang dan damai, dan apa yang ada di sekitar pembahasan perang dan damai
tersebut. Ketiga, paradigm realis beranggapan bahwa system dunia adalah anarki,
tidak adanya kekuasaan lain yang melebihi negara sebagai aktor utama. Dengan
menggunakan ketiga dasar pemikiran inilah paradigm realis dibangun.
Paradigma
realis sendiri sebenarnya baru diformulasikan menjadi paradigma dalam kurun
waktu tahun 1930-1940. Adapun yang berjasa meletakan atau menyusun dasar-dasar
pemikiran dari paradigm ini adalah E. H. Carr dan Hans J. Morgenthau. Carr
melalui karyanya yang berjudul The Twenty Years’ Crisis dan Morgentahu dengan Politic Among Nation-nya. Pada waktu itu E. H Carr melalui karyanya
tersebut membantah pemikiran-pemikiran kelompok idealis atau utopian yang
berpikiran bahwa perdamaian dapat dicapai dengan adanya hukum internasional,
demokratisasi, dan lembaga internasional (waktu itu Liga Bangsa-Bangsa) dan
bantahan Carr cukup telak, dengan membuktikan beberapa kegagalan Liga
Bangsa-Bangsa dan terjadinya perang antarnegara yang menganut demokrasi.[7]
Dan inilah yang menjadi titik tolak paradigm realisme ini berkembang.
III.
Analisa
Konsep-Konsep Realis yang Dapat Difalsifikasi
Hal
yang akan dianalisa pada tulisan kali ini adalah menyangkut tiga hal penting
yang dikemukakan sebelumnya, yaitu, pembahasan mengenai perang, negara sebagai
aktor utama, dan sistem internasional yang anarki.
Mengenai
perang, kelompok realis berpendapat bahwa perang (dalam hal ini perang
konvensional) merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan ketika suatu konflik
mencapai titik ekskalasi tertentu. Perang itulah yang kemudian akan menjadi
klimaks dan pada akhirnya mengakhiri semuanya: mengakhiri ekskalasi konflik dan
mendatangkan perdamaian, setidaknya untuk beberapa lama. Hal ini senada dengan
apa yang dinyatakan oleh Saint Augustine. Saint Augustine berkata, “All men seek peace by war,…”[8]
Tapi, pada kenyataannya, hal tersebut dapat kita falsifikasi jika kita
melihat kenyataan yang terjadi pada masa perang dingin. Pada masa itu terjadi
persaingan antara dua negara adidaya, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Persaingan atau konflik yang juga berlandas atas dasar perbedaan ideologi ini
dapat dikatakan sudah mencapai ekskalasi yang begitu mengkhawatirkan, terlihat
dari bermunculannya proxy war di
mana-mana. Banyak ahli yang menduga mereka kemudian akan berperang, akan tetapi
pada kenyataannya kita tahu bahwa itu tidak pernah terjadi. Amerika Serikat dan
Uni Soviet pun dalam keadaan berdamai. Maka, hal ini berarti menyanggah konsep
yang diungkapkan oleh kelompok realis mengenai perang di kalimat sebelumnya.
Jika kita tinjau lebih jauh dan menelisik beberapa konsep lain, penulis dapat
mengatakan bahwa kemudian kelompok realis memberikan pembenaran dengan mengeluarkan
sebuah konsep, yaitu, konsep balance of
power dalam sistem negara bipolar. Konsep itu kurang lebih menyatakan,
dalam sistem dunia yang sifatnya bipolar, masing-masing kekuatan akan cenderung
mengambil ‘jalan aman’: memilih bernegosiasi daripada berperang, dan kalo
memang harus berperang, keduanya akan memilih resiko terkecil. Keduanya
mengetahui kekuatan masing-masing, juga mengenai dampak apa yang akan muncul
jika keduanya terlibat dalam perang yang nyata.[9]
Maka, jika kita kembali melihat teori falsifikasi yang telah dijelaskan
sebelumnya, bahwasannya sebuah science
harus dapat difalsikasi atau memiliki kecenderungan untuk disalahkan dan setiap
falsifikasi memiliki kecenderungan untuk melahirkan konsepsi baru, maka
konsepsi kelompok realis terhadap perang dapat dikatakan sebagai science.
Mengenai
aktor utama dalam hubungan internasional, secara gamblang kelompok realis
memandang bahwa negara adalah aktor utama dalam hubungan internasional.
Penjelasannya seperti apa yang telah dijelaskan sebelumnya dan berhubungan pula
dengan konsep anarki yang juga telah dijelaskan. Pada kenyataannya saat ini
begitu banyak institusi atau aktor lain yang berperan dan memiliki pengaruh
yang lebih besar dibandingkan dengan negara. Kita ambil contoh Uni Eropa, Uni
Eropa adalah aktor di tingkat regional yang menyatukan negara-negara di
seantreo Eropa. Uni Eropa tentu bukan negara, tapi memiliki pengaruh bahkan
yang lebih kuat daripada negara. Kita ketahui Uni Eropa menggagas
diberlakukannya mata uang bersama, yaitu Euro di negara-negara anggotanya.
Penggagasan ini membuat negara tidak lagi fleksibel dalam urusan keuangan atau
moneternya.[10]
Hal ini mengindikasikan bagaimana Uni Eropa pada akhirnya menjadi aktor lain
yang ternyata memiliki power yang
lebih kuat dibandingkan negara. Belum lagi ketika harus mengambil sebuah
kebijakan di tataran internasional, tak jarang Uni Eropa mengatas namakan
dirinya sendiri, tanpa dengan jelas mendapatkan persetujuan dari negara-negara
naggotanya. Itulah celah falsifikasi dari konsepsi realis yang menyatakan bahwa
negara adalah aktor utama dalam hubungan internasional.
IV.
Kesimpulan
Falsifikasi memiliki prinsip yang
berkebalikan dengan verifikasi. Jika verifikasi mencari pembenaran, maka
falsifikasi sebaliknya, mencari celah atau probabilitas kesalahan. Teori atau
konsep-konsep yang dapat atau memiliki peluang untuk difalsifikasi dapat
dikategorikan sebagai science, sedangkan
yang tidak, disebut sebagai pseudo-science.
Konsepsi kelompok realis mengenai perang yang mengatakan bahwa damai dapat
dicapai setelah perang dan mengenai negara adalah aktor utama dalam
hubunganinternasional ternyata memiliki peluang untuk dapat difalsifikasi.
Maka, kedua konsep tersebut dapat kita golongkan sebagai konsep-konsep yang
memenuhi keilmiahan, sebagai science.
Daftar
Pustaka
Griffiths,
Martin dan Terry O’Challaghan. 2002. International
Relations The Key Concepts. New York: Routledge
Kebung,
Konrad. 2011. Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher
Kusumawardhana,
Indra. 2013. “European Union in Crisis: Menguatnya Pandangan Berbasis
Kedaulatan di Dalam Krisis Ekonomi Uni Eropa”. Dalam Jurnal Hubungan
Internasional, Vol. VI, No. 1 (diunduh dari jurnal.unair.ac.id pada Minggu, 3
Juni 2013, pukul 00.07 WIB)
Luard,
Evan. 1992. Basic Text in International
Relations. London: Macmillan
Mingst,
Karen. 2004. Essential of International
Relations, 3rd Ed. New York: W. W. Norton & Company
Popper,
Karl. - . Science as Falsification. (diunduh
dari http://gen.lib.rus.ec/book/index.php?md5=6601D35D79AFD4D848F28820985A23D4
pada Selasa, 28 Mei 2013 pukul 14. 23 WIB)
[1]
Konrad Kebung, Filsafat Ilmu Pengetahuan,
(Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2011), halaman 167
[2]
Popper, Science as Falsification, (diunduh
dari: http://gen.lib.rus.ec pada Selasa, 28 Mei 2013 pukul 16. 23 WIB), halaman
2
[3]
Ibid., halaman 3
[4]
Ibid., halaman 3
[5]
Konrad Kebung, Op.Cit,. halaman 170
[6]
Evan Luard, Basic Text in International Relations, (London:
Macmillan, 1992) halaman 40-44
[7] Martin
Griffiths dan Terry, International
Relations The Key Concepts, (New York: Routledge, 2002), halaman 261-262
[8]
Evan Luard, Op. Cit., halaman 28
[9]
Karen Mingst, Essential of International
Relations, 3rd Ed., (New York: W. W. Norton & Company,
2004), halaman 88
[10] Indra
K., “European Union in Crisis: Menguatnya Pandangan Berbasis Kedaulatan di
Dalam Krisis Ekonomi Uni Eropa” diunduh dari jurnal.unair.ac.id pada Minggu, 3
Juni 2013 pukul 00.07 WIB, halaman 5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar