Minggu, 25 Agustus 2013

Falsifikasi (Karl Popper)



Falsifikasi Terhadap Konsep-Konsep Paradigma Realis dalam Ilmu Hubungan Internasional
I.             Karl Raymond Popper dan Teori Falsifikasi
Karl Raymond Popper merupakan seorang filsuf yang lahir di Wiena pada tahun 1902, dan meninggal dunia pada tahun 1994. Ia merupakan salah satu filsuf yang cukup berpengaruh bagi filsafat ilmu pengetahuan abad dua puluh. Beberapa karyanya yang terkenal meliputi The Logic of Scientific Discovery (1959), The Open Society and Its Enemies (1945), The Poverty of Historicism (1957), dan lain-lain. Sumbangan tebesar Popper dalam filsafat ilmu adalah pemikirannya mengenai falsifikasi.
Jika melihat masa hidupnya, Popper hidup ketika aliran positivisme dan empirisme mendominasi di Wiena. Kedua aliran tersebut dikembangkan oleh sebuah kelompok yang disebut Lingkaran Wiena. Pemikiran positivism dan empirism sendiri merupakan pemikiran yang menjadikan pengalaman, pengamatan, atau percobaan, yang pada dasarnya induktif, sebagai satu-satunya sumber pembenaran, sumber pengetahuan. Juga, bagi mereka verifikasi adalah metode yang paling tepat untuk menkonstruksi ilmu pengetahuan:  menentukan garis batas antara pernyataan ‘bermakna’ dan ‘tidak bermakna’.[1] Anehnya Popper menyangkal itu, dengan teorinya, yaitu, teori falsifikasi.

Falsifikasi pada dasarnya merupakan lawan dari verifikasi. Jika verifikasi mencoba mencari pembenaran atas sebuah teori, maka, falsifikasi sebaliknya: mencoba untuk mencari kesalahan atau menyalahkan teori tersebut. Adapun tujuannya adalah membedakan antara science dan pseudo-science. Sebuah teori yang tidak dapat terfalsifikasi digolongkan sebagai pseudo-science. Sebaliknya, yang dapat terfalsifikasi digolong sebagai science.
Mengenai apa yang sebenarnya mendasari Popper menyoal falsifikasi ini, maka mungkin kita dapat mencermati pernyataannya, sebagai berikut:
“It was the summer of 1919 that I began to feel more and more dissatisfied with these three theories—the Marxist theory of history, psycho-analysis, and individual psychology; and I began to feel dubious about their claims to scientific status. My problem perhaps first took the simple form, "What is wrong with Marxism, psycho-analysis, and individual psychology? Why are they so different from physical theories, from Newton's theory, and especially from the theory of relativity?"[2]
Jadi apa yang mendasari Popper menyoal falsifikasi ini adalah keraguannya akan status ilmiah (science) dari beberapa teori -Marx­ist Theory of History dan lainnya- yang dia temukan. Baginya teori-teori tersebut lebih menyerupai primitive myths daripada science.[3] Mengenai alasannya berpikir seperti itu, Popper menceritakannya dalam beberapa kalimat berikut:
“…. A Marxist could not open a newspaper without finding on every page confirming evidence for his interpretation of history; not only in the news, but also in its presentation — which revealed the class bias of the paper — and especially of course what the paper did not say. The Freudian analysts emphasized that their theories were constantly verified by their "clinical observations."……”[4]
Dari kalimat tersebut, Popper seolah mengatakan pada akhirnya ketika kita menjadi Marxist atau Freudian Analyst, kita akan cenderung menggunakan teori-teori tersebut sebagai landasan kita untuk berpikir dan seolah semua fenomena yang kita temukan mengkonfirmasi kebenaran teori-teori tersebut. Teori-teori tersebut pada akhirnya seolah tidak memiliki titik atau probabilitas untuk disalahkan, atau tidak dapat difalsifikasi. Maka, Popper menggolongkan teori-teori tersebut sebagai pseudo-science. Berbeda dengan ketiga teori tersebut, Popper memandang teori-teori Newton dan Einstein sebagai scince, karena hadir atas dasar falsifikasi dan dapat difalsifikasi dengan hadirnya asumsi-asumsi tertentu. Dan begitulah, menurut Popper ilmu pengetahuan berkembang: atas dasar falsifikasi.[5]
 Beberapa contoh falsifikasi sederhana:
1.      Falsifikasi terhadap teori bahwa semua benda akan memuai apabila dipanaskan. Kenyataannya, air akan menyusut jika dipanaskan dari suhu 0 0C – 40C. Hal ini kemudian memunculkan sebuah teori baru mengenai sifat anomali air.
2.      Falsifikasi terhadap teori kosmologi yang dikemukakan Isaac Newton oleh teori relativitas yang dikemukakan oleh Albert Einstein. Kenyataannya saat ini, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Arthur Eddingthon menyatakan bahwa teori  relativitas Einsten lebih mendekati kebenaran dibandingkan teori kosmologi Newton.
3.      Falsifikasi terhadap teori geosentris yang menyatakan bahwa bumi adalah pusat tata surya oleh teori heliosentris yang menyatakan bahwa mataharilah pusatnya. Kenyataannya pada saat ini, kecanggihan teknologi secara jelas menunjukan bahwa matahari adalah pusat tata surya.
II.          Paradigma Realis dalam Ilmu Hubungan Internasional
Paradigma realis adalah paradigm yang paling dominan digunakan oleh ilmuan-ilmuan Hubungan Internasional, dari dulu hingga saat ini. Akar pemikiran dari paradigm realis adalah pemikiran Thucydes yang tertuang dalam karyanyanya mengenai Peloponnesian War, Machiavelli dalam karyanya The Prince, Thomas Hobbes dalam karyanya Leviathan, dan lain-lain. Peloponnesian War menceritakan mengenai perang antara Athena dan Sparta. Mengenai hal tersebut kesimpulan yang dapat ditarik, Thucydides berpikir bahwa penyebab dari terjadinya perang tersebut adalah kemajuan kekuatan militer Athena dan rasa insecurity Sparta akibat hal tersebut. The Prince lebih menceritakan bagaimana seharusnya karakteristik seorang pemimpin dan bagaimana karakteristik interest suatu negara: tentang stabilitas, kesejahteraan, dan keamanan rakyat dan negara. Sedangkan, Leviathan menceritakan bahwa sistem duniaadalah anarki, yang didefinisikan sebagai ketiadaan kekuasaan politik tertinggi. Menurut Hobess, anarki pula dikatakan sebagai war of all against all[6]. Ketiadaan kekuasaan politik tertinggi inilah yang menyebabkan perang dapat terjadi.
Dari akar pemikiran realis yang disebutkan di atas, dapat kita simpulkan beberapa hal. Pertama, paradigm realis memandang bahwa negara merupakan aktor utama dalam hubungan internasional. Kedua, fokus paradigm realis adalam mengenai perang dan damai, dan apa yang ada di sekitar pembahasan perang dan damai tersebut. Ketiga, paradigm realis beranggapan bahwa system dunia adalah anarki, tidak adanya kekuasaan lain yang melebihi negara sebagai aktor utama. Dengan menggunakan ketiga dasar pemikiran inilah paradigm realis dibangun.
Paradigma realis sendiri sebenarnya baru diformulasikan menjadi paradigma dalam kurun waktu tahun 1930-1940. Adapun yang berjasa meletakan atau menyusun dasar-dasar pemikiran dari paradigm ini adalah E. H. Carr dan Hans J. Morgenthau. Carr melalui karyanya yang berjudul The Twenty Years’ Crisis dan Morgentahu dengan Politic Among Nation-nya. Pada waktu itu E. H Carr melalui karyanya tersebut membantah pemikiran-pemikiran kelompok idealis atau utopian yang berpikiran bahwa perdamaian dapat dicapai dengan adanya hukum internasional, demokratisasi, dan lembaga internasional (waktu itu Liga Bangsa-Bangsa) dan bantahan Carr cukup telak, dengan membuktikan beberapa kegagalan Liga Bangsa-Bangsa dan terjadinya perang antarnegara yang menganut demokrasi.[7] Dan inilah yang menjadi titik tolak paradigm realisme ini berkembang.
III.       Analisa Konsep-Konsep Realis yang Dapat Difalsifikasi
Hal yang akan dianalisa pada tulisan kali ini adalah menyangkut tiga hal penting yang dikemukakan sebelumnya, yaitu, pembahasan mengenai perang, negara sebagai aktor utama, dan sistem internasional yang anarki.
Mengenai perang, kelompok realis berpendapat bahwa perang (dalam hal ini perang konvensional) merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan ketika suatu konflik mencapai titik ekskalasi tertentu. Perang itulah yang kemudian akan menjadi klimaks dan pada akhirnya mengakhiri semuanya: mengakhiri ekskalasi konflik dan mendatangkan perdamaian, setidaknya untuk beberapa lama. Hal ini senada dengan apa yang dinyatakan oleh Saint Augustine. Saint Augustine berkata, “All men seek peace by war,…”[8] Tapi, pada kenyataannya, hal tersebut dapat kita falsifikasi jika kita melihat kenyataan yang terjadi pada masa perang dingin. Pada masa itu terjadi persaingan antara dua negara adidaya, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet. Persaingan atau konflik yang juga berlandas atas dasar perbedaan ideologi ini dapat dikatakan sudah mencapai ekskalasi yang begitu mengkhawatirkan, terlihat dari bermunculannya proxy war di mana-mana. Banyak ahli yang menduga mereka kemudian akan berperang, akan tetapi pada kenyataannya kita tahu bahwa itu tidak pernah terjadi. Amerika Serikat dan Uni Soviet pun dalam keadaan berdamai. Maka, hal ini berarti menyanggah konsep yang diungkapkan oleh kelompok realis mengenai perang di kalimat sebelumnya. Jika kita tinjau lebih jauh dan menelisik beberapa konsep lain, penulis dapat mengatakan bahwa kemudian kelompok realis memberikan pembenaran dengan mengeluarkan sebuah konsep, yaitu, konsep balance of power dalam sistem negara bipolar. Konsep itu kurang lebih menyatakan, dalam sistem dunia yang sifatnya bipolar, masing-masing kekuatan akan cenderung mengambil ‘jalan aman’: memilih bernegosiasi daripada berperang, dan kalo memang harus berperang, keduanya akan memilih resiko terkecil. Keduanya mengetahui kekuatan masing-masing, juga mengenai dampak apa yang akan muncul jika keduanya terlibat dalam perang yang nyata.[9] Maka, jika kita kembali melihat teori falsifikasi yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwasannya sebuah science harus dapat difalsikasi atau memiliki kecenderungan untuk disalahkan dan setiap falsifikasi memiliki kecenderungan untuk melahirkan konsepsi baru, maka konsepsi kelompok realis terhadap perang dapat dikatakan sebagai science.
Mengenai aktor utama dalam hubungan internasional, secara gamblang kelompok realis memandang bahwa negara adalah aktor utama dalam hubungan internasional. Penjelasannya seperti apa yang telah dijelaskan sebelumnya dan berhubungan pula dengan konsep anarki yang juga telah dijelaskan. Pada kenyataannya saat ini begitu banyak institusi atau aktor lain yang berperan dan memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan negara. Kita ambil contoh Uni Eropa, Uni Eropa adalah aktor di tingkat regional yang menyatukan negara-negara di seantreo Eropa. Uni Eropa tentu bukan negara, tapi memiliki pengaruh bahkan yang lebih kuat daripada negara. Kita ketahui Uni Eropa menggagas diberlakukannya mata uang bersama, yaitu Euro di negara-negara anggotanya. Penggagasan ini membuat negara tidak lagi fleksibel dalam urusan keuangan atau moneternya.[10] Hal ini mengindikasikan bagaimana Uni Eropa pada akhirnya menjadi aktor lain yang ternyata memiliki power yang lebih kuat dibandingkan negara. Belum lagi ketika harus mengambil sebuah kebijakan di tataran internasional, tak jarang Uni Eropa mengatas namakan dirinya sendiri, tanpa dengan jelas mendapatkan persetujuan dari negara-negara naggotanya. Itulah celah falsifikasi dari konsepsi realis yang menyatakan bahwa negara adalah aktor utama dalam hubungan internasional.      
IV.       Kesimpulan
         Falsifikasi memiliki prinsip yang berkebalikan dengan verifikasi. Jika verifikasi mencari pembenaran, maka falsifikasi sebaliknya, mencari celah atau probabilitas kesalahan. Teori atau konsep-konsep yang dapat atau memiliki peluang untuk difalsifikasi dapat dikategorikan sebagai science, sedangkan yang tidak, disebut sebagai pseudo-science. Konsepsi kelompok realis mengenai perang yang mengatakan bahwa damai dapat dicapai setelah perang dan mengenai negara adalah aktor utama dalam hubunganinternasional ternyata memiliki peluang untuk dapat difalsifikasi. Maka, kedua konsep tersebut dapat kita golongkan sebagai konsep-konsep yang memenuhi keilmiahan, sebagai science.
 
Daftar Pustaka
 Griffiths, Martin dan Terry O’Challaghan. 2002. International Relations The Key Concepts. New York: Routledge
Kebung, Konrad. 2011. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher
Kusumawardhana, Indra. 2013. “European Union in Crisis: Menguatnya Pandangan Berbasis Kedaulatan di Dalam Krisis Ekonomi Uni Eropa”. Dalam Jurnal Hubungan Internasional, Vol. VI, No. 1 (diunduh dari jurnal.unair.ac.id pada Minggu, 3 Juni 2013, pukul 00.07 WIB)
Luard, Evan. 1992. Basic Text in International Relations. London: Macmillan
Mingst, Karen. 2004. Essential of International Relations, 3rd Ed. New York: W. W. Norton & Company
Popper, Karl. - . Science as Falsification. (diunduh dari http://gen.lib.rus.ec/book/index.php?md5=6601D35D79AFD4D848F28820985A23D4 pada Selasa, 28 Mei 2013 pukul 14. 23 WIB)


[1] Konrad Kebung, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2011), halaman 167
[2] Popper, Science as Falsification, (diunduh dari: http://gen.lib.rus.ec pada Selasa, 28 Mei 2013 pukul 16. 23 WIB), halaman 2 
[3] Ibid., halaman 3
[4] Ibid., halaman 3
[5] Konrad Kebung, Op.Cit,. halaman 170
[6] Evan Luard,  Basic Text in International Relations, (London: Macmillan, 1992) halaman 40-44
[7] Martin Griffiths dan Terry, International Relations The Key Concepts, (New York: Routledge, 2002), halaman 261-262
[8] Evan Luard, Op. Cit., halaman 28
[9] Karen Mingst, Essential of International Relations, 3rd Ed., (New York: W. W. Norton & Company, 2004), halaman 88
[10] Indra K., “European Union in Crisis: Menguatnya Pandangan Berbasis Kedaulatan di Dalam Krisis Ekonomi Uni Eropa” diunduh dari jurnal.unair.ac.id pada Minggu, 3 Juni 2013 pukul 00.07 WIB, halaman 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar