Selasa, 21 Mei 2013

Aliansi


Sebagaimana telah kita ketahui, Hubungan Internasional, baik as a fact atau pun as a science, sedikit banyak membahas hubungan antarnegara (state). Salah satu bahasan dalam hubungan antarnegara itu adalah aliansi. Secara intuisi, mungkin kita dapat menerjemahkan aliansi sebagai berhubungannya negara-negara atas alasan dan untuk tujuan tertetu. Di makalah ini sendiri akan dijelaskan mengenai itu: pengertian, alasan, tujuan, dan beberapa lain yang juga berhubungan dengan aliansi, disertai dengan pembahasan sederhana mengenai beberapa contoh aliansi. 


Aliansi sendiri, menurut Nye (2009: 289) didefinisikan sebagai: formal or informal arrangements between sovereign states, usually to ensure mutual security. Adapun, aliansi menurut Griffiths dan Terry (2002: 1) didefinisikan sebagai: an agreement between two or more states to work together on mutual security issues. Dengan kata lain aliansi dapat diartikan sebagai suatu kesepakatan, baik formal maupun informal, dalam bidang keamanan dan pertahanan (security issue) dengan tujuan untuk mempertahankan diri dari ancaman negara atau kekuatan lain. Menurut Griffiths dan Terry (2002: 1), aliansi yang berbentuk formal merupakan aliansi yang ditandai dengan penandatangan sebuah treaty yang dilakukan secara terang-terangan (publicly recognized), sedangkan, aliansi informal tidak ditandai oleh kedua hal tersebut (treaty dan publicly recognized), bahkan menurutnya, dapat juga dicapai dengan hanya perjanjian secara rahasia kepala negaranya. Adapun alasan untuk beraliansi, menurut Nye (2009: 70), selain dibangun atas alasan militer, juga dibangun atas alasan nonmiliter, dua yang paling utama adalah ideologi dan ekonomi. 
Aliansi merupakan salah satu konsep yang sangat berkaitan dengan konsep balance of power. Konsep balance of power sendiri, menurut Nye (2009: 289), secara singkat, membicarakan mengenai tiga hal, yaitu, pertama, mendeskripsikan mengenai distribusi power dalam sistem internasional; kedua, sebuah kebijakan (policy) untuk menyeimbangkan foreign power untuk mencegah satu negara memiliki power yang lebih dibandingkan dengan negara lain; ketiga, penyeimbangan military power yang terjadi di sistem multipolar di Eropa pada abad sembilan belas. Berkaitan dengan balance of power, aliansi diklaim, oleh kaum realis, mampu menjaga balance of power, dengannya, negara-negara tidak akan saling serang. Berbeda dengan klaim tersebut, aliansi dan balance of power, menurut Imanuel Kant (dalam Griffiths dan Terry, 2002: 2) merupakan penyebab konflik antarnegara.

Aliansi memiliki beberapa keuntungan. Untuk negara-negara kecil, aliansi membantu mereka mengurangi biaya untuk membangun pertahanan dan membantu dalam hal perekonomian, karena biasanya terjadi pula hubungan ekonomi antarnegara anggota aliansi baik berbentuk trade, aid, maupun loan. Untuk negara-negara besar, aliansi dapat memudahkan dalam membangun strategi pertahanan suatu negara terhadap musuh potensialnya - seperti halnya yang dilakukan Amerika Serikat terhadap Uni Soviet, atau sebaliknya di masa perang dingin - dan juga dapat digunakan untuk menjaga hegemoni suatu negara terhadap negara yang beraliansi dengannya.

Keberlangsungan aliansi bergantung pada beberapa hal. Pertama, anggapan terhadap keberlangsungan ancaman (threat). Aliansi biasanya dibentuk berdasarkan rasa takut beberapa negara atas ancaman satu kekuatan tertentu, oleh karenanya mereka beraliansi agar mempunyai kekuatan (power) yang sama besar untuk kemudian dapat bertahan atau melawan kekuatan tersebut. Jika ancaman yang ditakutkan itu sudah hilang, tidak ada atau dikalahkan, maka aliansi tersebut memiliki kemungkinan untuk bubar. Kedua, kesamaan sistem politik negara-negara anggota aliansi. Ketiga, keberadaan negara besar yang menghegemoni. Pakta Warsawa diinisiasi berdiri oleh Uni Soviet, sebagai kekuatan yang menghegomoni di wilayah Eropa Timur pada tahun 1955. Dia bertahan dan menjadi alat kepentingan Uni Soviet selama perang dingin. Kemudian, mulai melemah dan bahkan bubar seiring dengan melemahnya pengaruh dan bubarnya Uni Soviet. Keempat, masalah kepemimpinan dan kesamaan ideologi negara-negara anggota aliansi. Sebagai contoh, AS dan China bealiansi sebelum tahun 1949, ketika China dipimpin oleh seorang Nasionalis, dan menjadi musuh setelah tahun 1949, ketika China dipimpin oleh seorang Komunis.

Salah satu contoh Aliansi adalah NATO (North Atlantic Treaty Organization), yang berdiri pada 4 April 1949, merupakan aliansi yang menyatukan negara-negara Eropa dan Atlantik Utara. Treaty-nya sendiri ditandatangani di Washington oleh dua belas negara pada awalnya, meliputi Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Perancis, the Benelux Country, Italia, Norwegia, Islandia, Denmark, dan Portugal. Setidaknya ada dua alasan berdirinya NATO: melindungi diri terhadap kemungkinan serangan dari Uni Soviet dan dari ketakutan terhadap kemungkinan hidup kembali militerisme Jerman.  Adapun, tujuan beridirnya NATO itu, menurut Griffiths dan Terry (2002: 219), di antaranya, untuk melindungi kemerdekaan dan security negara-negara anggotanya, untuk mencegah dan mengatasi krisis internasional, menjadi lembaga pertimbangan untuk masalah security issue di Eropa, dan membantu kerja dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam hal mensosialisasikan (menyebarkan) nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan hukum internasional. Secara singkatnya, Griffiths dan Terry, menyebut NATO sebagai collective defence organization, yang menganggap bahwa serangan terhadap salah satu negara anggota merupakan serangan terhadap keseluruhan anggota.

Contoh aliansi berikutnya adalah Pakta Warsawa. Pakta Warsawa merupakan aliansi yang dibentuk oleh negara-negara Eropa Timur. Pakta Warsawa sendiri berdiri atau disepakati pada tanggal 14 Mei 19 di Warsawa. Treaty-Nya ditandatangani oleh tujuh negara, yaitu, Uni Soviet, Bulgaria, Rumania, Jerman Timur, Hungaria, Polandia, Cekoslowakia. Jika alasan berdirinya NATO adalah karena ketakutan terhadap ancaman Uni Soviet, maka, alasan berdirinya Pakta Warsawa adalah sebaliknya, ketakutan terhadap ancaman NATO.

Mengenai kedua contoh aliansi yang bertolak belakang di atas dan jika dikaitkan dengan balance of power, di sinilah kita dapat melihat bagaimana mekanisme balance of power itu terjadi. Masing-masing dari pihak yang berseteru tidak pernah mau kalah, keduanya selalu bersaing untuk terus menjadi lebih kuat dari lawannya. Persainggan itulah, yang secara tidak disadari, malah membawa kedua kekuatan menjadi kekuatan yang sama besar. Maka, masa itu juga kemudian sering dikenal sebagai masa bipolar, dua kekuatan.

Ada sebuah pernyataan menarik dari seorang Keren Mingst mengenai NATO dan Pakta Warsawa, sekaligus mungkin menjelaskan bagaimana dua aliansi yang terus bersaingan dalam menguatkan baik power maupun pengaruh masing-masing, terus menerus seperti itu, tetapi tidak kunjung juga saling serang. Keren Mingst (2004: 88) kurang lebih menyatakan, dalam sistem dunia yang sifatnya bipolar, masing-masing kekuatan akan cenderung mengambil ‘jalan aman’: memilih bernegosiasi daripada berperang, dan kalo memang harus berperang, keduanya akan memilih resiko terkecil. Keduanya mengetahui kekuatan masing-masing, juga mengenai dampak apa yang akan muncul jika keduanya terlibat dalam perang yang nyata. Hal ini senada dengan apa yang selalu diungkapkan oleh kelompok realis mengenai aliansi dan balance of power, yang menghubung-hubungkan, bahwa dengan adanya aliansi, akan tercipta balance of power, dan dengannya perdaimanan antarnegara atau antarkekuatan akan tercipta.

Kesimpulan

Konsep aliansi, yang merupakan salah satu konsep penting dalam hubungan internasional, dapat didefinisikan sebagai kesepakatan, baik formal maupun informal, yang dibentuk oleh beberapa negara dalam hal pertahanan (security issues) dengan tujuan melindungi diri dari ancaman kekuatan lain. Mengenai berdirinya sebuah aliansi, Nye berpendapat, selain atas alasan militer, juga atas alasan yang lain seperti ekonomi dan ideologi. Aliansi sendiri memiliki beberapa keuntungan, di antaranya, mengurangi pengeluaran untuk membangun kekuatan militer, meningkatkan geliat perekonomian, dan alat untuk menghegemoni. Selain itu, ada setidaknya empat factor yang mempengaruhi keberlangsungan aliansi, di antaranya, ada tidaknya ancaman, sistem politik anggota aliansi, ada tidaknya kekuatan yang menghegemoni, dan kepemmpinan dan kesamaan ideologi. Aliansi sangat berkaitan erat dengan terciptanya balance of power. NATO dan Pakta Warsawa merupakan dua contoh aliansi yang saling bertentangan satu sama lain, terus bersaing dalam membangun kekuatan sampai keduanya menciptakan kondisi balance of power tertentu.  Kondisi keduanya yang terus bersaing tetapi tidak pernah berperang dengan seluruh kekuatan militer yang mereka punya, seolah membenarkan ungkapan realis bahwa aliansi dan balance of power mengantarkan kita pada perdamaian dunia.


Daftar Pustaka
Griffiths, Martin dan Terry O’Callaghan. (2002). International Relations the Key Concepts, 2nd . London: Routledge    
Mingst, Keren. (2004). Essential of International Relations, 3rd Ed. New York: W. W. Norton & Company 
Nye, Joseph. (2009). Understanding International Conflict, 7th Ed. New York: Pearson Longman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar