Mengidolakan seorang
atau beberapa orang adalah hal yang wajar. Terkadang, baik atau bahkan sangat
baik, jika kita mengidolakan orang-orang yang baik, tentunya. Idola-idola kita
terkadang mampu memotivasi kita dengan caranya sendiri, caranya masing-masing.
Mereka terkadang mampu membangkitkan semangat kita, cukup dengan hanya kita
membaca tulisannya. Mereka terkadang membangkitkan motivasi kita, ketika kita
mampu bercakap dengannya. Setidaknya hal inilah terjadi pada diri penulis.
Adalah beberapa sosok
manusia yang kemudian sering disebut mentor yang penulis idolakan. Mereka para
pemimpin mentoring, yang siap dijadikan atau dianggap ‘apapun’: teman, sahabat,
kakak, guru, atau apapun. Karena begitulah mereka menjelma: kadang mengajarkan sesuatu,
mengajak tertawa, menasehati, rekan bercanda, atau di saat tertentu bisa juga
marah (untuk kebaikan). Kerelaan dan keikhlasan untuk mengajak kita untuk
bersama berbuat dan menjadi baik, itulah yang istimewa dari mereka.
‘Pengidolaan’ ini
dimulai sejak penulis menduduki bangku sekolah menengah atas. Di kala menjalani
proses adaptasi yang sulit. Kala itu, peralihan dari siswa SMP ber-‘grade’
biasa menjadi siswa SMA ber-‘grade’ cukup favorite, peralihan dari ‘anak
kampung’ menjadi ‘anak kota’, tentu membawa konsekuensi yang tidak mudah. Dan
di saat itulah penulis berkenalan dengan yang namanya mentor dan mentoring.
Mereka yang sedikit banyak membantu prosesi adaptasi penulis. Utamanya dalam
hal membangun kepercayaan diri.
Perjalanan itu pun
terus berlangsung, tantangan adaptasi, ternyata hanyalah tantangan awal yang
perlu dihadapi, selanjutnya ternyata ada tantangan lain yang lebih sulit.
Berprestasi atau, bagi penulis sih, tidak terpuruk di jurang akademis, menjadi
tantangan berikutnya. Dan lagi-lagi mentor dan mentoring menjadi bagian yang
turut membantu penulis menghadapi tantangan ini. Mentor ternyata bisa
diandalkan juga, untuk menjadi tutor pelajaran, atau setidaknya menjadi tempat
meminjam buku.
Tantangan demi
tantangan, pun terus bermunculan. Dan secara bersamaan mentor dan mentoring
memberikan solusi. Sampai pada akhirnya mentor pun jadi inspirasi tersendiri.
Ada saatnya mereka membantu kita tanpa melalui usaha langsung tangan mereka,
melainkan, ya, menjadi inspirasi. Mentor pertama penulis adalah seorang kakak
kelas di sekolah yang kini berkuliah di UGM, yang kedua berkuliah di ITB, yang
ketiga berkuliah di UI, setidaknya capaian mentor-mentor penulis tersebutlah
yang kemudian menginspirasi penulis. Itu capaian sederhana, ada capaian-capaian
lain yang juga terus menginspirasi. Ah, mentorku idolaku, mentorku inspirasiku.
Sekian, semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar