Kamis, 27 Oktober 2011

Sekardus Coki-coki Inspirasi 1

Sekardus Coki-coki Inspirasi

Rintik-rintik hujan turun ke bumi. Hembusan angin semilir menyelinap melalui lubang ventilasi jendela. Malam itu terasa sangat dingin. Semua orang mungkin tidur terlelap dengan bantal guling di pelukannya dan selimut menutupi seluruh bagian tubuhnya. Namun, itu tidak terjadi terhadap seorang anak, seorang pelajar SMA yang dikenal sebagai penjual coki-coki. Ia kini merapikan dagangannya, memasukkan kardus demi kardus kecil dagangannya ke dalam kantong plastik merah besar. Sebuah rutinitas yang harus selalu ia lakukan setelah jarum jam menunjuk angka sepuluh.

Semilir angin menyelinap melalui lubang ventilasi jendela yang sama, tapi kini, angin terasa lebih dingin. Doni pun menggigil dan kemudian terbangun, kain sarung tak cukup ternyata untuk melindunginya dari dingin. Terdengar sayup-sayup suara azan, Doni tak lantas bangun, hawa dingin ternyata mengalahkan niatnya untuk senantiasa shalat shubuh di masjid. Ia kini terbaring lagi, tertidur lagi. Doni terjaga kembali setelah aktivitas seluruh penghuni rumahnya dimulai.

Kini saatnya berangkat sekolah. Doni pun telah siap untuk pergi ke sekolah, dengan tas di punggung dan kantong pelastik merah besar di tangan kanannya. Ia mengucap basmalah pada langkahnya yang pertama dan menyapa orang-orang yang ia temui di jalan pada langkah-langkah berikutnya. Bahkan tak jarang ia berhenti sejenak hanya untuk menyapa dan sedikit bergurau, alhasil, perjalanan yang sebenarnya bisa ditempuh dalam waktu sepuluh menit harus ia tempuh dalam waktu dua puluh menit. Kini ia berdiri di trotoar jalan, menunggu sebuah angkot biru yang akan mengantarkannya ke Cipare, tempat sebuah SMA kecil dimana ia bersekolah.

Dua puluh menit perjalanan menggunakkan angkot cukup untuk mengantarkan Doni sampai ke depan pintu gerbang sekolah. Doni turun dan membayar seribu rupiah. Kini ia berjalan menuju sebuah kelas yang terletak di lantai dua sekolah tersebut. Dalam perjalanannya Doni senatiasa menyapa setiap orang yang ia lalui, dari tukang sapu sampai guru-guru. Doni pribadi yang ramah. Kini ia sampai di depan kelas, dan lantas bergerak menuju sebuah bangku di depan meja guru. Inilah hukuman yang diterapkan oleh kelas bagi mereka yang telat karena budaya di sekolah ini adalah berebut tempat paling belakang.

Empat jam pelajaran Doni lalui dengan sangat antusias, ia bertanya tentang berbagai hal kepada sang guru, bukan untuk memuaskan hasratnya untuk tahu, melainkan untuk mencegah ia ditanya duluan oleh sang guru. Bel istirahat berbunyi, saatnya Doni beraksi. Ia memulai dagang dari kelasnya, merayu orang satu per satu. “Alhamdulillah,” batinnya mengucap, satu kardus kecil coki-coki dan setengah kardus momogi habis di kelasnya. Saatnya expansi ke kelas lain, melayani pelanggan setianya yang lain.

Doni pun beranjak menuju kelas yang lain, merayu lagi dan terus merayu, mengumbar kata. Tiap perempuan yang ia lewati dipujinya cantik, sontak hati mereka berbunga dan satu persatu barang dagangan mereka beli. Dasar wanita makhluk gila pujian. Doni kini bersiul, dagangannya ludes, hatinya senang, dan untung lima belas ribu kini di tangan, dia kantongi.

Siangnya pukul dua belas Doni ke kantin, perutnya berteriak mengadu minta makan. Satu mangkuk soto ia pesan lengkap dengan potongan setengah telur rebus. Doni memakannya dengan lahap, sambil ngobrol dan berteriak ini-itu tentunya. Mulutnya yang penuh tak menghalanginya untuk terus bicara. Dasar kau Doni si mulut "lebar".

Dua orang kawan menghampiri Doni, menawar jasanya, untuk menemani mereka pergi mendaki gunung. Tak banyak bicara Doni langsung mengiyakan ajakan kedua temannya, Inggil dan Faiz. Mereka pun menyusun rencana dan mencoba mengundang teman yang lain. Namun, tak ada satu pun yang mau karena alasan waktunya yang sangat mendesak. Ya, tentu saja sangat mendesak karena mereka berencana ingin pergi sore ini. Ide gila untuk mendaki gunung tertinggi di Propinsi Banten, yang terkenal angker, tanpa persiapan yang matang.

Pukul 17.00 mereka baru bertolak dari sekolah, menggunakan angkutan kota berwarna hitam menuju Pandeglang, lebih tepatnya Cadasari. Sempat terjadi diskusi di antara mereka, bukan masalah maju dan mundur, melainkan, masalah makanan apa yang akan dibawa. Sesampainya di pasar Cadasari, pukul 17.30 Doni membeli beberapa bungkus mie dan roti, dan tiga buah korek gas yang dibagian belakangnya terdapat senter untuk nanti jadi penerangan jalan. Perjalanan masih panjang kawan, sekitar lima kilometer lebih menyusuri perkampungan, hutan, dan perkampungan lagi, mereka mulai berjalan, dengan langkah yang cepat.

Jarum jam menunjukkan pukul 18.00 ketika itu adzan maghrib berkumandang. Hari mulai gelap. Doni, Faiz, dan Inggil baru menempuh sepertiga perjalanan, mereka berhenti sejenak untuk solat maghrib dan beristirahat, sekaligus mulai mengenakan pakaian yang layak untuk menahan hawa dingin. Perjalan kembali dimulai dengan alat bantu penerangan tiga buah senter kecil. Cepat saja mereka berjalan, batuan terjal bagi mereka bukan hambatan.

Pukul 19.00 akhirnya mereka sampai di desa terakhir, ketika adzan isya berkumandang, mereka pun menunaikan solat isya terlebih dahulu, seraya berdoa demi keselamatan. Keselamatan dari binatang buas dan roh-roh jahat. Keluar dari mesjid mereka mengunjungi salah satu rumah warga untuk meminta tolong agar dibuatkan mie kuah, sambil berbincang-bincang. Warga terkejut ketika mendengar mereka ingin mendaki terus ke atas, namun, rasa terkejutnya hilang ketika tahu ini bukan pendakian pertama bagi kami. Lebih tepatnya bagi Doni dan Faiz. Namun bagi Inggil, ini yang pertama dan terekstrim. Mie kuah akhirnya matang juga dengan kepulan asap yang masih menghiasinya, tetapi jangan tertipu, karena mie sebernanya tidak panas hanya sedikit hangat, dan terus turun suhunya menjadi mie kuah yang dingin.

Setelah makan, mereka pun bersiap kembali, bersiap mendaki, menantang hawa dingin, menantang jalanan terjal, dan menantang rasa takut mereka sendiri. Hidup ini penuh tantangan kawan. Jalanan setapak di antara rumah-rumah warga, mereka lalui. Mereka masih tenang, masih sempat bercanda. Rumah warga yang terakhir pun akhirnya terlewati, dan di depan mulai terlihat pintu gerbang pendakian, sebuah makam keramat. Bau aneh menyeruak masuk ke hidung, kabut turun, suasana begitu mistis. Doni merinding, Faiz merinding, Inggil pun merinding, tetapi mereka semua terdiam, pura-pura tidak merasakan apapun, dan terus berjalan. Terus berjalan, dan semakin cepat. Gontai langkah mereka tetapi tetap cepat tak ada pilihan lain, kecuali cepat sampai di pos terakhir dan beristirahat.

Bau aneh itu terus menyeruak, semakin dekat, mereka semakin takut. Mereka terus berjalan, berjalan sambil menunduk, hanya jalan yang mereka lihat. Perasaan dibuntuti, perasaan diperhatikan masih terus mereka rasakan bahkan semakin membesar. Doni mulai komat-kamit, Inggil juga dan tentu Faiz juga di posisi paling belakang. Mereka terus menunduk karena takut, bahkan untuk menolehpun begitu mengerikan. Beberapa kali Doni memanggil nama Faiz, hanya untuk memastikan kalau Faiz masih bersama, Doni tak sanggup menoleh. Sampai akhirnya mereka tak tahan untuk beristirahat, sekedar berhenti. Mereka pun berhenti dan tak terjadi apa-apa. Akhirnya merekapun sadar jika rasa takut tak seharusnya mereka tanggapi, biarkan saja. Perjalanan kembali dilanjutkan, mereka sedikit relaks. Dan tak lama kemudian sebuah pohon besar terlihat, pertanda pos terakhir telah dekat. Mereka berlari, terus berlari dan sampai. Lantas Doni berteriak, "Serang...............!!" sambil menunjuk ke arah kerumunan cahaya di bawah sana.

Mereka berteriak, teriakan-teriakan kesal, mumpung di hutan. Semua kesal mereka teriakan. Mulai dari ulangan-ulangan yang remed, guru-guru yang bikin kesal, sampai kawan-kawan sialan. sampai akhirnya mereka capek. Kini mereka terduduk menikmati eksotisme indahnya langit, indahnya taburan cahaya bintang di langit, dan indahnya taburan cahaya di bawah sana. Kini Doni memulai kisah tentang coki-cokinya. Ia menjelaskan untuk inilah ia berjualan coki-coki, untuk mewujudkan hasrat jalan-jalannya, hasrat menaklukan setiap tantangan. Karena hidup sejatinya adalah tantangan. Kemudian senyap datang, semua terdiam, bergelut dengan pikiran masing-masing.

Faiz mengambil sebuah pena dan secarik kertas dari tas sekolahnya. Ia menulis sebuah puisi ditemani lampu senter kecil.

Ditemani lampu senter kecil, di tengah sunyi gunung yang ku daki

Di antara hamburan cahaya
di langit dan di bumi
kini aku bersaksi dengan segenap hati
tentang alam ini, tentang semesta, tentang semua keindahan
tentang semua rasa
tentang semuanya......
bahwa semua ada karena satu alasan
karena Kau..
Kau Ya Rabbul 'Alamiin.......


Puisi berikutnya

coki-coki kau begitu menginspirasi

kau coklat dan manis
banyak orang menyukaimu
termasuk aku


kau adalah jalan
jalan Tuhan untuk aku tahu
bahwa setiap mimpi perlu ada sebuah usaha....
sebuah realisasi....

1 komentar: