Selasa, 11 Oktober 2011

coba nulis 2

Ujian Oh Ujian

Ujian didefinisikan sebagai suatu rangkaian kegiatan untuk membuktikan kualitas diri, sifatnya spesifik tergantung sesuatu apa yang ingin dibuktikan. Ada ujian lisan, ujian tulis, dan yang terberat ialah ujian hidup. Ujian hidup menyebabkan banyaknya orang mati di seutas tali penggantung, atau di bawah shower kamar mandi dengan genangan darah di lantai.

Senin itu matahari menyembul mebuat rona kemerahan di ufuk timur langit Menes. Suasana jalanan sepi senin itu, karena hanya siswa kelas 6 SD dan guru-guru yang berhubungan dengan ujian tulis sajalah yang berangkat ke sekolah, sedangkan yang tidak berkepentingan tentu saja tiduran di depan tv menikmati infoteiment pagi. 


Anak-anak kelas 6 pun berkumpul di depan ruang kelas mendapatkan arahan agar melaksanakan ujian dengan baik, lebih tepatnya kerja sama yang baik. Kemudian mereka berdoa. Dalam doanya Fadli meminta, “Ya Allah aku meminta ampun atas kecurangan yang nanti aku lakukan, aku akan kasih tahu jawaban ke teman aku sebatas aku ingin membantunya lulus pada ujian saat ini, aku enggak mau mereka tidak lulus.”

Di dalam ruangan, suasanya begitu tegang, atau ditegang-tegangkan. Para pengawas berwajah dingin, lebih tepatnya berpura-pura dibalik kumis tebal mereka. Pengawas tak pernah senyum sedikitpun. Namun tetap, bukan Fadli d.k.k. namanya kalau tidak nekad, mereka mulai beraksi ketika ujian setengah jalan. Lirik kiri, lirik kanan, tengok belakang, ternyata pengawas diam dan cuek, wajah seram ternyata hanya gertakan, inilah wajah Indonesia. Akhirnya mereka pun menyelesaikan ujian, kerja sama, dengan sangat baik.

Malam setelah selesai ujian Fadli d.k.k. berniat mengadakan syukuran atas suksesnya penyelenggaraan kerja sama. Mereka berniat mengadakannya di sekolah malam itu, bersama dengan guru-guru yang bertempat tinggal dekat dengan sekolah. Bukan semacan barbeque party, hanya goreng ikan asin peda dan sambal terasi party.    

Gnetum gnemon, Abah Ikung Vs Broken Chair, Io

Gnetum gnemon, nama keren melinjo, atau dalam bahasa lain disebut sake atau grintul, adalah tanaman yang sangat-sangat berarti di kampung kami. Karena dari melinjo inilah tercipta banyak pekerjaan. Pertama, pemulung sake, tugasnya ya ngambil melinjo yang sudah berserakan di tanah, atau sengaja diserakan dengan menggoyang-goyangkan dahannya yang kecil, ini nyolong namanya. Kedua, pemborong sake, tugasnya tentu memborong atau membeli melinjo, cuma di sini terjadi transaksi yang aneh, jual beli melinjonya tidak dengan satuan tetapan SI seperti liter atau kilogram, melainkan hanya dengan perkiraan dan kesepakatan bersama, dan dalam satuan batang. Ketiga, pengolah sake, atau lazim dikenal dengan pembuat emping, sector Abah Ikung, di sinilah sektor usaha yang paling mendapatkan prioritas yang utama, yang bagaimana biji melinjo, di sektor usaha ini diubah menjadi bentukan lain seperti, emping, keceprek gurih, dan keceprek rasa. Sektor usaha inilah yang menyerap banyak pekerja, lebih tepatnya pembuka kulit melinjo, yang lagi-lagi dengan bayaran yang unik yaitu kulit melinjo yang berhasil mereka buka dari bijinya. 

Apabila kursi Anda mengalami kerusakan, harap tenang. Karena di kampung Fadli ada sektor usaha reparasi kursi rusak. Sang pemilik bernama Rafiah, tetapi lebih dikenal dengan nama Io. Io dibaca seperti kita menyebutkan EO ( event organizer), tetapi agak didengungkan ketika menyebut huruf o. Perusahaan ini bekerja siang malam, dan menampung setidaknya lima orang pekerja, yang diambil dari orang terdekat Io. Selain merekrut dan menguntungkan para tukang kayu, unit usaha ini pun menguntungkan bagi orang lain seperti, rental mobil karena kebetulan Io tidak memiliki mobil operasional, dan para pemulung besi bekas karena unit usaha ini tentu akan menyisakan paku-paku bekas karatan.

Kedua tetangga Fadli di atas memiliki garis keturunan yang sama. Mereka adalah para ahli pemasaran yang luar biasa. Bagaimana tidak, posisi usaha mereka tidak di pinggir jalan, namun nama mereka melanglang buana, minimal menguasai pasar Menes dan sekitarnya. Dan mereka pun orang-orang yang luar biasa, dengan adanya unit usaha mereka, mereka berarti telah membantu menurunkan angka pengangguran di kampung Fadli.

Masjid Tak Bertiang

Setelah beberapa minggu yang lalu Fadli menghadapi ujian dan kemudian dinyatakan lulus, kini saatnya Fadli menuju fase hidup yang berikutnya dan menunaikan kewajibannya untuk sekolah Sembilan tahun. Fadli memilih untuk bersekolah di sebuah sekolah megah yang dikelilingi gunung-gunung menjulang nan megah di sebuah daerah dengan ketinggian tujuh ratus meter di atas permukaan laut. Pesantren Madani Mandalawangi. Ya PM Mandalawangi yang akan menjadi batu loncatan Fadli berikutnya.

Pagi itu, ketika para petani baru bersiap berangkat ke ladangnya, ketika ayam masih terkantuk mematuk-matuk, ketika itu Fadli dengan semangat membara bersiap menuju ke PM Mandalawangi untuk melaksanakan serangkaian ujian seleksi masuk. Fadli dengan penuh semangat mempersiapkan segalanya, mulai dari pensil sampai pensil, karena hanya pensillah yang ia punyai. Tragisnya pelajar yang satu ini. Kemudian, Fadli mengikat tali sepatunya erat-erat bak akan bertanding lari, berdiri dan merapihkan kembali bajunya, mematut-matut mencoba bercermin di depan kaca jendela rumahnya, sambil sesekali tersenyum meyakinkan diri.

Di dalam sebuah mobil yang sering disebut-sebut kol mini, yang seharusnya mini colt, tak henti-hentinya Fadli berdoa, berkomat-kamit, memohon kepada Sang Ilahi, “ Ya Allah, hamba-Mu ini akan melaksanakan serangkaian ujian penerimaan di sebuah Pesantren Madani, ini bukan sekadar ujian penerimaan biasa Ya Allah, ini sebagai langkah hamba-Mu ini menunaikan kewajiban hamba kepada-Mu untuk belajar agama, dan berupa pelaksanaan kewajiban hamba kepada negara yang telah mewajibkan untuk belajar sembilan tahun,” lirihnya dalam hati. Pandai memang anak ini merayu.

Fadli pun tiba di PM tersebut, Fadli bergegas mencari ruang ujian. Fadli menemukan ruang ujiannya dan masuk dengan langkah lunglai. Bukan karena gugup, melainkan ngantuk. Fadli tepat duduk di bangkunya bersama seseorang di sebelahnya, entah siapa. Kakak-kakak berkemeja itu kemudian membagikan lembar ujian, memberikan wejangan sejenak agar tidak ada yang mencontek, lantas berdiri mematung di depan kelas, seperti mengawasi.

Fadli mengerjakan satu demi satu soal dengan santainya, orang ini ternyata punya percaya diri yang besar untuk urusan mengerjakan soal. Ia menggores kertas jawaban dengan yakin. Dan setelah waktu habis, ia pun menjadi orang pertama yang mengumpulkan.

Azan dhuhur pun berkumandang, mengalun-alun, mebisikki setiap telinga orang beriman dengan lembut, menghujam telinga setan hingga ia lari terbirit-birit. Fadli melangkahkan kakinya ke mesjid bersama ratusan orang lainnya. Fadli pun mulai memasuki selasar mesjid, memasuki mesjid dari salah satu pintunya dan kemudian tertegun. Fadli tertegun melihat betapa besarnya mesjid ini, betapa megahnya mesjid ini, betapa kokohnya mesjid ini, dan yang paling mencengangkan mesjid ini tak bertiang. Tak habis pikir Fadli bagaimana bisa mesjid yang besarnya empat kali lipat mesjid di kampungnya ini, bisa berdiri tanpa tiang penopang  yang biasanya hadir di bagian tengah mesjid, sedangkan mesijid di kampungnya mempunyai dua tiang penyangga.

Masih dalam nuansa bingung Fadli melangkahkan kaki ke tempat wudhu, berwudhu, dan menikmati setiap tetes air sejuk, khas pegunungan, yang mengalir di kulitnya. Selesai berwudhu ia pun kembali memasuki masjid, dan masuk ke barisan shalat yang akan segera dimulai, tepat sebelum shalat dimulai. Imam shalat kali itu, seorang bapak tua yang jangkung, menyeru dengan lantang kepada setiap jamaah agar merapatkan barisannya agar mencapai keutamaan shalat. Selesai shalat alunan zikir berbunyi, Fadli pun menunduk, mengikuti zikir secara perlahan dan menghayatinya. Selesai barzikir sang imam mempersilakan agar setiap jamaah berdoa masing-masing, Fadli pun berdoa. Lirihnya, “ Ya Allah Tuhan Yang Maha Mendengar, jadikan masjid ini, masjid tujuan hamba ketika terdengar suara azan karena masjid ini masjid terdekat dengan tempat tinggal hamba berikutnya. Artinya jadikanlah pesantren ini sebagai tempat tinggal hamba berikutnya, Aamiin”.           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar