Belakangan wacana pengurangan subsidi BBM kembali mengemuka. Ada yang setuju dan ada juga yang tidak setuju. Yang menarik, keduanya berbicara mengenai kepentingan rakyat, kepentingan orang banyak. Lantas, mana yang benar?
Pengurangan subsidi berdampak buruk, yaitu membebankan rakyat kecil secara
langsung, belum lagi akibat dari efek domino-nya yang menyebabkan kenaikan
harga barang lain, yang kemudian menyebabkan meningkatnya inflasi, dan lebih
jauh, dapat pula menyebabkan instabilitas kondisi perekonomian negera ini. Di
sisi lain, pengurangan subsidi juga berdampak baik, salah satunya yaitu
berkurangnya beban anggaran negara, yang tentu dapat dialihkan untuk
pembangunan infrastruktur dan lainnya. Maka, mempermasalahkan mana yang lebih
benar bukanlah hal yang begitu penting. Adapun, mempermasalahkan alasan mengapa
wacana ini sering kali muncul dan bagaimana solusi terbaiknya, menurut penulis,
menjadi jauh lebih penting.
Alasan dan solusi mencegah
kemunculan wacana pengurangan subsidi BBM
Konsumsi BBM di Indonesia sangatlah tinggi dan lebih tinggi dibandingkan
dengan kemampuan produksinya. Hal inilah yang kemudian menyebabkan Indonesia
harus mengimpor sekian juta barrel BBM per tahun. Implikasinya, Indonesia
menjadi cukup tergantung dengan pergeseran harga minyak dunia. Fakta inilah
yang menyebabkan wacana pengurangan subsidi sering kali muncul, belum lagi,
jika kita juga turut memperhatikan nilai rupiah yang kian melemah dan peningkatan
konsumsi yang berkali lipat dibandingkan kemampuan produksi yang stagnan.
Melihat fakta di atas, maka dua hal yang menurut penulis menjadi permasalah
utama mengapa wacana pengurangan subsidi BBM sering kali muncul, adalah terkait
masalah konsumsi dan produksi. Dengan kata lain, upaya untuk mengatasi
permasalahan ini secara lebih baik adalah dengan menekan konsumsi atau
meningkatkan produksi, atau melakukan dua hal tersebut sekaligus.
Cara menekan konsumsi misalkan dengan mengurangi jumlah penggunaan
kendaraan pribadi, yang artinya para penggunanya harus beralih ke kendaran
masal. Masalahnya, hal ini tidak dapat terjadi jika transportasi masal kita
jauh tidak lebih nyaman dibandingkan kendaraan pribadi, kecuali jika kita dapat
menerapkan peraturan yang memaksa. Cara lain untuk menekan konsumsi adalah
dengan melakukan konversi BBM ke energi alternatif lain. Masalahnya,
infrastruktur produksi atau distribusinya belum tersedia secara baik dan
merata.
Jika kita menemukan banyak masalah dengan cara menekan konsumsi, kita
mungkin harus beralih ke cara meningkatkan kemampuan produksi. Satu-satunya
cara adalah dengan melakukan serangkaian eksplorasi sumber minyak mentah dan
dengan membuat kilang-kilang baru atau menemukan energi alternatif yang sama
dengan BBM. Masalahnya, ini terlalu berisiko, negara ini nampaknya tidak cukup
berani mengambil risiko ini.
Solusi terbaik
Jika melihat beberapa cara perihal menekan konsumsi atau meningkatkan
produksi, kesemuanya terganjal dengan minimnya upaya karena minimnya modal
untuk mencari dan merealisasikan alternatif lain. Maka, memperbanyak pundi
rupiah adalah satu-satunya cara untuk melakukan hal tersebut. Mengurangi
subsidi BBM dan mengalihkannya untuk anggaran realisasikan alternatif lain
adalah yang termudah. Mencari modal dari para investor baik asing maupun lokal
adalah cara lain. Namun, perlu kita ingat, bahwa negeri ini, apalagi di
sektor-sektor tersebut, belumlah cukup menarik untuk dilirik. Lantas?
Perlu kita ingat bahwa solusi mendasar adalah dengan mengurangi konsumsi,
sebagai pribadi atau warga negara tentu kita dapat melakukan ini, yaitu, dengan
mau mengurangi intensitas penggunaan kendaran pribadi pengkonsumsi BBM
bersubsidi dan beralih ke kendaraan masal. Bayangkan, jika ada satu juta rakyat
Indonesia melakukan ini dan anggap bahwa dengan melakukan ini ada satu juta
liter BBM yang berhasil dihemat per harinya, berapa rupiah subsidi yang
berhasil dikurangi? Berapa rupiah subsidi yang dapat dialihkan untuk merealisasikan
solusi lain yang lebih baik? Atau jika memang kita tidak bersedia untuk
melakukan ini, harusnya kita berlapang dada menerima pengurangan subsidi dan
menutup mata dengan banyak kesulitan yang akan terjadi pada saudara kita yang
kondisi ekonominya tidak lebih baik dari pada kita.
Terakhir, sebagai refleksi, perlu kita ingat, bahwa Indonesia ini adalah
negara yang sedang berkembang yang karenanya memiliki seribu dilema dan
paradoks. Setiap permasalahan di negeri ini ketika coba diselesaikan dengan
suatu cara akan selalu berimplikasi pada timbulnya permasalahan lain. Hal
inilah yang perlu kita ingat. Juga, bahwa, tidak ada satu hal pun yang
benar-benar baik tanpa hadirnya cela. Dan, adalah mengalah, tidak banyak
menuntut, dan berbuat sebaik mungkin secara pribadi sebagai warga negara yang
mencitai negaranya adalah hal yang dapat kita lakukan untuk membantu negara
ini. Sebab, kita jugalah pengelola negara ini, bukan hanya pemerintah. Maka,
kita juga tidak dapat serta merta menyalahkan pemerintah tanpa berkaca tentang
diri kita sendiri. Dari kita, oleh kita, dan untuk kita.
Faiz Fadhlih Muhammad
Mahasiswa
Tingkat Tiga
Jurusan
Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas
Indonesia
Dapat juga dibaca di sini: koran sindo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar