Selasa, 01 April 2014

Pengaruh Islam terhadap Kebijakan Luar Negeri Indonesia


Kebijakan luar negeri, selain dipengaruhi oleh kondisi internasional, juga dipengaruhi oleh kondisi dalam negeri. Bahkan, dalam beberapa hal, kondisi dalam negeri memiliki kecenderungan yang lebih dalam menentukan kebijakan luar negeri. Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia, yang sedikit atau banyak mempengaruhi tata nilai masyarakat, disinyalir juga ikut turut campur dalam menentukan kebijakan luar negeri. Maka, membahas keterkaitan islam dan kebijakan luar negeri Indonesia menjadi salah satu bahasan yang menurut penulis menarik. Dalam tulisan ini, untuk mengurai keterkaitan Islam dan kebijakan luar negeri Indonesia, penulis akan menjelaskan perjalanan negara ini dari waktu ke waktu -kemerdekaan, orde lama, orde baru, dan reformasi- dan keterkaitannya dengan islam, khususnya mengenai di mana dan seberapa besar islam berpengaruh di waktu-waktu tersebut. Penulis juga akan mencoba menguraikan pendapat mengenai seberapa penting faktor islam; menguraikan apa keuntungan dan juga tantangan yang harus dihadapi. Dan terakhir, penulis akan menutup tulisan ini dengan sebuah kesimpulan singkat.

Di masa pembentukan negara ini, terjadi perdebatan yang serius antara kelompok islam dan kelompok sekuler (kebangsaan) dalam menentukan identitas atau bentuk negara, yang merupakan satu hal penting yang akan menentukan bagaimana arah kebijakan republik ini ke depan. Dalam hal ini, kelompok islam menuntut bahwa Indonesia harusnya menjadi negara islam, atas alasan bahwa Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia dan telah menjadi atau, setidaknya, mempengaruhi tatanan nilai masyarakat, dan juga karena, dalam Islam, ada sebuah konsepsi yang menyatakan bahwa islam adalah agama dan negara sekaligus.[1] Di sisi lain, kelompok sekuler (kebangsaan) menilai bahwa Indonesia lebih baik menjadi negara yang sekuler, negara yang tidak berdasarkan pada agama tertentu, mengingat terdapat juga agama atau aliran kepercayaan lain di Indonesia. Pada akhirnya, disepakati bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler maupun negara agama (teokratik), melainkan negara Pancasila.[2] Terkait dengan kebijakan luar negeri Indonesia, yang memiliki prinsip bebas-aktif, pada waktu itu, didefinisikan sebagai anti-kolonialisme.[3] Termasuk dalam hal ini, terkait dengan dukungan Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina, hal tersebut dilakukan bukan atas dasar solidaritas sebagai sesama negara dengan penduduk mayoritas muslim, melainkan atas dasar semangat anti-kolonialisme, solidaritas sebagai negara yang pernah terjajah.[4]
Memasuki masa kepemimpinan Suharto atau biasa disebut orde baru, Islam, dalam perpolitikan, benar-benar dibatasi.[5] Menurut Anwar, hal ini diakibatkan oleh banyaknya pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam di Indonesia, di rentang tahun 1950-60-an.[6]  Dijelaskan pula oleh Suryadinata, dalam tulisannya yang berjudul, “Islam and Suharto’s Foreign Policy: Indonesia, the Middle East, and Bosnia”, bahwa kecenderungan dibatasinya kebijakan luar negeri Indonesia terhadap negara atau isu yang berbau islam, diakibatkan oleh ketakutan Suharto, dan kekuatan militer yang mendominasi kelompoknya, akan ancaman dari luar juga dan ancaman berkembangnya kekuatan fundamentalis islam di Indonesia.[7] Dengan kata lain, kebijakan lebih dilatarbelakangi oleh alasan keamanan (security). Berbeda dengan Suryadinata, menurut Perwita, hal yang paling utama menyebabkan ini terjadi adalah pemerintahan Suharto yang bersifat state-centered, sehingga, kekuatan lain selain pemerintah secara otomatis akan terbatasi pengaruhnya.[8]  Baru di akhir tahun 1980-an, Suharto mulai sedikit menaruh perhatian terhadap negara-negara atau isu-isu yang terkait dengan islam. Menurut Anwar, hal ini dilakukan Suharto untuk mengamankan posisinya.[9] Dan, baik menurut Anwar maupun Suryadinata, hal ini dilakukan Suharto lebih karena alasan kepentingan nasional (national interest), bukan Islam.[10]
Di tahun 1998, rezim Suharto runtuh, Indonesia memasuki era baru yang disebut reformasi, di mana demokrasi dijunjung tinggi. Kekuatan-kekuatan politik, khususnya politik Islam, yang dalam masa orde baru ditekan, mulai tumbuh kembali. Sehingga, menurut Perwita, periode ini disebut sebagai fase krusial tentang perubahan peta politik di Indonesia dan kemunculan kembali kekuatan politik islam, dalam mempengaruhi politik domestik dan kebijakan luar negeri.[11] Indonesia mampu melewati fase krusial ini dengan baik dan kemudian menjadi negara demokrasi. Dengan menjadi negara demokrasi, Indonesia mendapatkan perhatian lebih dari Dunia Barat, karena ternyata demokrasi dapat diterapkan dan berjalan dengan baik di negara dengan penduduk muslim yang besar, bahkan terbesar di dunia. Oleh sebab itu, kemudian muncul ekspektasi atau harapan Dunia Barat bahwa Indonesia mampu menjadi contoh alternatif bagi negara-negara islam lain dalam penerapan demokrasi dan mampu menjembatani hubungan Islam (Timur Tengah) dan Barat.[12] Hal ini berarti bahwa ada dorongan, dari lingkungan internasional, untuk Indonesia memperhatikan dan menempatkan Islam dalam kebijakan luar negerinya. Menurut Anwar, karena hal tersebut, Indonesia akan mendapatkan banyak tantangan, bukan dari faktor atau tekanan domestik yang notabene terdiri dari mayoritas muslim, melainkan tantangan untuk membuktikan dua ekspektasi atau harapan dari Barat tersebut, yang realitanya, Indonesia ternyata masih dipandang sebelah mata oleh Dunia Islam, khususnya Timur Tengah; karena Islam di Indonesia bagi mereka, bukanlah Islam yang sebenarnya; dan karena keadaan domestik Indonesia, utamanya aspek politik dan ekonomi, yang masih sedikit terpuruk.[13]
Secara singkat, dari penjelasan di atas, dapat kita simpulkan beberapa hal. Pertama, di masa pemerintahan Sukarno, Islam memilki cukup pengaruh dalam kebijakan domestik, tetapi tidak untuk kebijakan luar negeri. Kedua, di awal masa pemerintahn Suharto, Islam tidak memiliki pengaruh, baik dalam kebijakan domestik maupun luar negeri. Pengaruh Islam ditekan sedimikian mungkin atas alasan keamanan (security). Ketiga, Islam mulai memiliki pengaruh di akhir tahun 1980-an, walaupun hanya dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan (di level domestik) dan mendapatkan national interest (di level internasional). Keempat, memasuki era demokrasi, di mana kebebasan berpendapat dijunjung tinggi, Islam, begitupun faktor domestik lain, menjadi lebih diperhitungkan dan tentu menjadi lebih berpengaruh. Kelima, demokratisasi di Indonesia, memuncul perspektif baru di Dunia Barat, bahwa Islam ternyata bisa berjalan selaras dengan demokrasi. Hal ini memunculkan setidaknya dua ekspektasi, yaitu, Indonesia dapat dijadikan sebagai contoh alternatif mengenai demokrasi bagi Dunia Islam dan menjadi jembatan penghubung antara Dunia Barat dan Dunia Islam.
Bagi penulis, Islam memang tidak seharusnya menjadi faktor utama penentu kebijakan, baik itu di level domestik maupun di level internasional (kebijakan luar negeri), akan tetapi, juga tidak boleh dihiraukan. Kebijakan luar negeri harus tetap berdasarkan prioritas yang memang penting, terkait dengan vital interest dan national interest, juga mengingat bahwa Indonesia bukan merupakan negara islam dan tidak hanya terdiri dari masyarakat islam. Selain itu, masyarakat muslim di Indonesia juga cenderung moderat dan toleran. sehingga, jika ada gesekan antara kepentingan lain dan islam dalam kebijakan luar negeri, selama memiliki landasan alasan yang kuat, menurut penulis, masyarakat tidak akan bereaksi berlebihan dan merugikan negara. Akan tetapi, di sisi lain, Islam juga tidak boleh dihiraukan, di era demokrasi, di mana kebebasan berpendapat dijunjung tinggi, setiap pendapat harus tetap diakomodasi, walaupun dengan porsi yang relatif sedikit. Selain itu, menempatkan Islam dalam kebijakan luar negeri, menurut penulis memiliki keuntungan tersendiri. Pertama, karena Islam dan perpaduannya dengan demokrasi, Dunia Barat menaruh perhatian terhadap Indonesia. Kedua, Islam dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk lebih mendekatkan hubungan Indonesia dengan Timur Tengah. Dunia Barat dan Timur Tengah adalah dua entitas yang akan menguntungkan jika kita dapat menjalin hubungan baik dengan mereka, karena kita tahu bahwa sebagian besar negara di Dunia Barat adalah negara maju dan sebagian besar negara di Timur Tengah adalah negara-negara penghasil minyak, yang merupakan sumber energi yang paling banyak digunakan saat ini. Akan tetapi, untuk dapat meraih dua keuntungan tersebut Indonesia memiliki beberapa tantangan, yaitu, yang pertama, membuktikan bahwa betul di Indonesia demokrasi dan islam berjalan selaras, dan yang kedua, untuk meningkatkan posisi di Dunia Islam, Indonesia setidaknya memiliki kondisi domestik yang kondusif, juga terkait dengan ekonomi dan SDM yang harus terus meningkat secara kualitas.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal: pertama, bahwa Islam di Indonesia merupakan salah satu komponen yang mempengaruhi bagaimana kebijakan diambil, baik itu di level domestik maupun internasional; kedua, di masing-masing periode pemerintahan, Islam memiliki pengaruh atau tempat yang berbeda-beda; ketiga, sebagai negara demokrasi dan negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, Islam menjadi ‘beban’ tersendiri bagi Indonesia; yang sebenarnya dapat dimanfaatkan menjadi kesempatan, karenanya Islam harus tetap diperhitungkan dalam kebijakan luar negeri.    
Daftar Pustaka
Anwar, Dewi Fortuna. “Foreign Policy, Islam and Democracy in Indonesia”,  Journal of Indonesian Social Sciences and Humanitites, Vol. 3, (2010): 37-54
Perwita, Anak Agung. “Islam ‘Symbolic Politic’, Democratization, and Indonesian Foreign Policy”, Centro Argentino de Estudios Internacionales
Sukma, Rizal. Islam in Indonesian Foreign Policy. London: Routledge, 2003
Suryadinata, Leo. “Islam and Suharto’s Foreign Policy: Indonesia, the Middle East, and Bosnia”, Asian Survey, Vol. 35, No. 3 (2009): 291-303



[1] Rizal Sukma, Islam in Indonesian Foreign Policy (London: Routledge, 2003), 2
[2] Sukma, 18
[3] Dewi Fortuna Anwar, “Foreign Policy, Islam and Democracy in Indonesia”,  Journal of Indonesian Social Sciences and Humanitites Vol. 3, (2010): 39
[4] Anwar, 47
[5] Anwar, 46
[6] Anwar, 46
[7] Leo Suryadhinata, “Islam and Suharto’s Foreign Policy: Indonesia, the Middle East, and Bosnia”, Asian Survey Vol. 35, No. 3 (2009): 303
[8] Anak Agung Perwita, “Islam ‘Symbolic Politic’, Democratization, and Indonesian Foreign Policy”, Centro Argentino de Estudios Internacionales, 2
[9] Anwar, 49
[10] Anwar, 49 dan Suryadinata, 303
[11] Perwita, 2
[12] Anwar, 45
[13] Anwar, 51-53

Tidak ada komentar:

Posting Komentar