Kebijakan luar
negeri, selain dipengaruhi oleh kondisi internasional, juga dipengaruhi oleh
kondisi dalam negeri. Bahkan, dalam beberapa hal, kondisi dalam negeri memiliki
kecenderungan yang lebih dalam menentukan kebijakan luar negeri. Islam sebagai
agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia, yang sedikit atau banyak
mempengaruhi tata nilai masyarakat, disinyalir juga ikut turut campur dalam
menentukan kebijakan luar negeri. Maka, membahas keterkaitan islam dan
kebijakan luar negeri Indonesia menjadi salah satu bahasan yang menurut penulis
menarik. Dalam tulisan ini, untuk mengurai keterkaitan Islam dan kebijakan luar
negeri Indonesia, penulis akan menjelaskan perjalanan negara ini dari waktu ke
waktu -kemerdekaan, orde lama, orde baru, dan reformasi- dan keterkaitannya
dengan islam, khususnya mengenai di mana dan seberapa besar islam berpengaruh
di waktu-waktu tersebut. Penulis juga akan mencoba menguraikan pendapat
mengenai seberapa penting faktor islam; menguraikan apa keuntungan dan juga
tantangan yang harus dihadapi. Dan terakhir, penulis akan menutup tulisan ini
dengan sebuah kesimpulan singkat.
Di masa pembentukan negara ini, terjadi perdebatan yang
serius antara kelompok islam dan kelompok sekuler (kebangsaan) dalam menentukan
identitas atau bentuk negara, yang merupakan satu hal penting yang akan
menentukan bagaimana arah kebijakan republik ini ke depan. Dalam hal ini,
kelompok islam menuntut bahwa Indonesia harusnya menjadi negara islam, atas
alasan bahwa Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia dan
telah menjadi atau, setidaknya, mempengaruhi tatanan nilai masyarakat, dan juga
karena, dalam Islam, ada sebuah konsepsi yang menyatakan bahwa islam adalah
agama dan negara sekaligus.[1] Di
sisi lain, kelompok sekuler (kebangsaan) menilai bahwa Indonesia lebih baik
menjadi negara yang sekuler, negara yang tidak berdasarkan pada agama tertentu,
mengingat terdapat juga agama atau aliran kepercayaan lain di Indonesia. Pada
akhirnya, disepakati bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler maupun negara
agama (teokratik), melainkan negara Pancasila.[2] Terkait
dengan kebijakan luar negeri Indonesia, yang memiliki prinsip bebas-aktif, pada
waktu itu, didefinisikan sebagai anti-kolonialisme.[3]
Termasuk dalam hal ini, terkait dengan dukungan Indonesia terhadap kemerdekaan
Palestina, hal tersebut dilakukan bukan atas dasar solidaritas sebagai sesama
negara dengan penduduk mayoritas muslim, melainkan atas dasar semangat
anti-kolonialisme, solidaritas sebagai negara yang pernah terjajah.[4]
Memasuki masa kepemimpinan Suharto atau biasa disebut
orde baru, Islam, dalam perpolitikan, benar-benar dibatasi.[5]
Menurut Anwar, hal ini diakibatkan oleh banyaknya pemberontakan yang dilakukan
oleh kelompok-kelompok Islam di Indonesia, di rentang tahun 1950-60-an.[6] Dijelaskan pula oleh Suryadinata, dalam
tulisannya yang berjudul, “Islam and
Suharto’s Foreign Policy: Indonesia, the Middle East, and Bosnia”, bahwa kecenderungan
dibatasinya kebijakan luar negeri Indonesia terhadap negara atau isu yang berbau
islam, diakibatkan oleh ketakutan Suharto, dan kekuatan militer yang
mendominasi kelompoknya, akan ancaman dari luar juga dan ancaman berkembangnya
kekuatan fundamentalis islam di Indonesia.[7] Dengan
kata lain, kebijakan lebih dilatarbelakangi oleh alasan keamanan (security). Berbeda dengan Suryadinata,
menurut Perwita, hal yang paling utama menyebabkan ini terjadi adalah
pemerintahan Suharto yang bersifat state-centered,
sehingga, kekuatan lain selain pemerintah secara otomatis akan terbatasi
pengaruhnya.[8] Baru di akhir tahun 1980-an, Suharto mulai
sedikit menaruh perhatian terhadap negara-negara atau isu-isu yang terkait
dengan islam. Menurut Anwar, hal ini dilakukan Suharto untuk mengamankan
posisinya.[9]
Dan, baik menurut Anwar maupun Suryadinata, hal ini dilakukan Suharto lebih
karena alasan kepentingan nasional (national
interest), bukan Islam.[10]
Di tahun 1998, rezim Suharto runtuh, Indonesia memasuki
era baru yang disebut reformasi, di mana demokrasi dijunjung tinggi.
Kekuatan-kekuatan politik, khususnya politik Islam, yang dalam masa orde baru
ditekan, mulai tumbuh kembali. Sehingga, menurut Perwita, periode ini disebut
sebagai fase krusial tentang perubahan peta politik di Indonesia dan kemunculan
kembali kekuatan politik islam, dalam mempengaruhi politik domestik dan
kebijakan luar negeri.[11]
Indonesia mampu melewati fase krusial ini dengan baik dan kemudian menjadi
negara demokrasi. Dengan menjadi negara demokrasi, Indonesia mendapatkan
perhatian lebih dari Dunia Barat, karena ternyata demokrasi dapat diterapkan
dan berjalan dengan baik di negara dengan penduduk muslim yang besar, bahkan
terbesar di dunia. Oleh sebab itu, kemudian muncul ekspektasi atau harapan
Dunia Barat bahwa Indonesia mampu menjadi contoh alternatif bagi negara-negara
islam lain dalam penerapan demokrasi dan mampu menjembatani hubungan Islam
(Timur Tengah) dan Barat.[12]
Hal ini berarti bahwa ada dorongan, dari lingkungan internasional, untuk
Indonesia memperhatikan dan menempatkan Islam dalam kebijakan luar negerinya.
Menurut Anwar, karena hal tersebut, Indonesia akan mendapatkan banyak
tantangan, bukan dari faktor atau tekanan domestik yang notabene terdiri dari
mayoritas muslim, melainkan tantangan untuk membuktikan dua ekspektasi atau
harapan dari Barat tersebut, yang realitanya, Indonesia ternyata masih
dipandang sebelah mata oleh Dunia Islam, khususnya Timur Tengah; karena Islam
di Indonesia bagi mereka, bukanlah Islam yang sebenarnya; dan karena keadaan
domestik Indonesia, utamanya aspek politik dan ekonomi, yang masih sedikit
terpuruk.[13]
Secara singkat, dari penjelasan di atas, dapat kita
simpulkan beberapa hal. Pertama, di masa pemerintahan Sukarno, Islam memilki
cukup pengaruh dalam kebijakan domestik, tetapi tidak untuk kebijakan luar
negeri. Kedua, di awal masa pemerintahn Suharto, Islam tidak memiliki pengaruh,
baik dalam kebijakan domestik maupun luar negeri. Pengaruh Islam ditekan
sedimikian mungkin atas alasan keamanan (security).
Ketiga, Islam mulai memiliki pengaruh di akhir tahun 1980-an, walaupun hanya
dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan (di level domestik) dan
mendapatkan national interest (di
level internasional). Keempat, memasuki era demokrasi, di mana kebebasan
berpendapat dijunjung tinggi, Islam, begitupun faktor domestik lain, menjadi
lebih diperhitungkan dan tentu menjadi lebih berpengaruh. Kelima, demokratisasi
di Indonesia, memuncul perspektif baru di Dunia Barat, bahwa Islam ternyata
bisa berjalan selaras dengan demokrasi. Hal ini memunculkan setidaknya dua
ekspektasi, yaitu, Indonesia dapat dijadikan sebagai contoh alternatif mengenai
demokrasi bagi Dunia Islam dan menjadi jembatan penghubung antara Dunia Barat
dan Dunia Islam.
Bagi penulis, Islam memang tidak seharusnya menjadi
faktor utama penentu kebijakan, baik itu di level domestik maupun di level
internasional (kebijakan luar negeri), akan tetapi, juga tidak boleh
dihiraukan. Kebijakan luar negeri harus tetap berdasarkan prioritas yang memang
penting, terkait dengan vital interest
dan national interest, juga mengingat
bahwa Indonesia bukan merupakan negara islam dan tidak hanya terdiri dari
masyarakat islam. Selain itu, masyarakat muslim di Indonesia juga cenderung
moderat dan toleran. sehingga, jika ada gesekan antara kepentingan lain dan
islam dalam kebijakan luar negeri, selama memiliki landasan alasan yang kuat,
menurut penulis, masyarakat tidak akan bereaksi berlebihan dan merugikan
negara. Akan tetapi, di sisi lain, Islam juga tidak boleh dihiraukan, di era
demokrasi, di mana kebebasan berpendapat dijunjung tinggi, setiap pendapat
harus tetap diakomodasi, walaupun dengan porsi yang relatif sedikit. Selain
itu, menempatkan Islam dalam kebijakan luar negeri, menurut penulis memiliki
keuntungan tersendiri. Pertama, karena Islam dan perpaduannya dengan demokrasi,
Dunia Barat menaruh perhatian terhadap Indonesia. Kedua, Islam dapat
dimanfaatkan sebagai alat untuk lebih mendekatkan hubungan Indonesia dengan
Timur Tengah. Dunia Barat dan Timur Tengah adalah dua entitas yang akan
menguntungkan jika kita dapat menjalin hubungan baik dengan mereka, karena kita
tahu bahwa sebagian besar negara di Dunia Barat adalah negara maju dan sebagian
besar negara di Timur Tengah adalah negara-negara penghasil minyak, yang
merupakan sumber energi yang paling banyak digunakan saat ini. Akan tetapi, untuk
dapat meraih dua keuntungan tersebut Indonesia memiliki beberapa tantangan,
yaitu, yang pertama, membuktikan bahwa betul di Indonesia demokrasi dan islam
berjalan selaras, dan yang kedua, untuk meningkatkan posisi di Dunia Islam,
Indonesia setidaknya memiliki kondisi domestik yang kondusif, juga terkait
dengan ekonomi dan SDM yang harus terus meningkat secara kualitas.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal:
pertama, bahwa Islam di Indonesia merupakan salah satu komponen yang
mempengaruhi bagaimana kebijakan diambil, baik itu di level domestik maupun
internasional; kedua, di masing-masing periode pemerintahan, Islam memiliki
pengaruh atau tempat yang berbeda-beda; ketiga, sebagai negara demokrasi dan
negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, Islam menjadi ‘beban’
tersendiri bagi Indonesia; yang sebenarnya dapat dimanfaatkan menjadi
kesempatan, karenanya Islam harus tetap diperhitungkan dalam kebijakan luar
negeri.
Daftar Pustaka
Anwar, Dewi
Fortuna. “Foreign
Policy, Islam and Democracy in Indonesia”,
Journal of Indonesian Social
Sciences and Humanitites, Vol. 3,
(2010): 37-54
Perwita,
Anak Agung. “Islam ‘Symbolic Politic’, Democratization, and Indonesian Foreign Policy”,
Centro Argentino
de Estudios Internacionales
Sukma, Rizal. Islam
in Indonesian Foreign Policy. London: Routledge, 2003
Suryadinata,
Leo. “Islam and Suharto’s Foreign Policy: Indonesia, the Middle
East, and Bosnia”, Asian Survey, Vol.
35, No. 3 (2009): 291-303
[3] Dewi Fortuna Anwar,
“Foreign Policy, Islam and Democracy in Indonesia”, Journal of Indonesian Social Sciences and
Humanitites Vol. 3, (2010): 39
[7] Leo Suryadhinata, “Islam
and Suharto’s Foreign Policy: Indonesia, the Middle East, and Bosnia”, Asian
Survey Vol. 35, No. 3 (2009): 303
[8] Anak Agung Perwita,
“Islam ‘Symbolic Politic’,
Democratization, and Indonesian Foreign Policy”, Centro Argentino de Estudios Internacionales, 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar