Selasa, 01 April 2014

Pemilu, Penguasa Baru, dan Arah Kebijakan


Ini versi lengkap dari tulisan saya di Poros Mahasiswa Koran Sindo beberapa waktu yang lalu. Selamat membaca.

Pemilu tahun ini nampaknya akan menarik. Pasalnya, Pemilu tahun ini dapat dipastikan akan menghasilkan penguasa baru, yang kemungkinan besar memiliki ideologi yang berbeda dari pemimpin sebelumnya. Hal ini dapat diramalkan dengan melihat survey elektabilitas partai, yang terlihat cukup berbeda dari pemilu sebelumnya, dan mengingat memang tidak mungkin lagi ada incumbent mencalonkan diri.



Penguasa baru dengan ideologi yang berbeda dari sebelumnya, tentu akan menghasilkan arah kebijakan yang berbeda pula. Catatan sejarah kita memperlihatkan ini, setidaknya di kepemimpinan Sukarno dan Suharto, atau mungkin juga SBY. Pada dasarnya apa yang masing-masing ingin capai adalah sama, pembangunan Indonesia, tetapi caranya kemudian yang berbeda, dan ideologilah salah satu yang berperan membentuk perbedaan cara ini. Sukarno, yang mungkin dapat disebut kekiri-kirian, cenderung memiliki arah kebijakan yang antikolonialisme, antiimperialisme, memiliki kecenderungan untuk menjaga jarak dengan negara-negara dunia pertama. Sukarno beranggapan bahwa pembangunan Indonesia hanya dengan kemandirian bangsa. Suharto lain lagi, cenderung antitesis dengan Sukarno, arah kebijakannya pragmatis dan berfokus pada pembangunan ekonomi nasional, memiliki kecenderungan untuk lebih membuka diri dan mendekatkan diri dengan negara dunia pertama. Suharto beranggapan bahwa pembangunan Indonesia harus dengan dibantu yang lain, yang sudah maju.
Jika kita berbicara mengenai situasi, baik di tingkat nasional maupun internasional, sebagai faktor yang juga menentukan arah kebijakan. Bagi penulis, ideologi tetap menjadi yang paling signifikan. Ideologilah yang menentukan sudut pandang dalam melihat situasi, cara memaknai situasi, dan menentukan langkah apa yang harus diambil. Sehingga, situasi yang sama, akan mungkin untuk dimaknai berbeda. Masalah yang sama, akan mungkin untuk diselesaikan dengan cara yang berbeda. Sebagai contoh, fenomena kenaikan minyak dunia, sebagian berkata pembangunan Indonesia akan tersendat jika subsidi tidak dicabut, sebagian lain berkata bahwa malah akan tersendat jika subsidi dicabut.

Penulis meyakini bahwa ideologi ini memiliki pengaruh yang signifikan. Tapi, di sisi lain, penulis juga tidak mau memungkiri di Indonesia seringnya terjadi anomali. Di Indonesia, ada penguasa yang mengaku begitu nasionalis, tetapi malah menjual banyak aset nasional kepada asing. Di Indonesia, ada penguasa yang mengaku begitu demokratis tetapi kepemimpinan di partainya malah bersifat oligarki, suka main ‘kode’, dan tidak transparan. Belum lagi, katanya, banyak calon penguasa yang terlihat begitu Indonesia, tetapi ternyata ditunggangi kepentingan asing.

Akan tetapi, terlepas dari itu semua, pemilu tetap akan menghasilkan penguasa baru dan kemungkinan besar arah kebijakan baru. Jika kita ingin melihat Indonesia lebih baik, maka terlibatlah di pemilu, tetapi bukan asal pilih, jadilah pemilih kritis. Lihatlah calon penguasa kita dari ideologi yang melandasi mereka dan penjabaran dari ideologi tersebut terhadap bagaimana mereka melihat masalah dan coba menjawabnya. Tetapi, di sisi lain, lihat pulalah sejarah anomalinya, yang jika terlihat, maka kita tidak boleh terlalu percaya.

Faiz Fadhlih Muhammad
Mahasiswa Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia








Tidak ada komentar:

Posting Komentar